Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, menyampaikan bahwa harga wajar atau keekonomian BBM bersubsidi Pertalite kian mendekati harga eceran Rp 10.000 per liter. Hal ini seiring dengan tren penurunan harga minyak dunia.
"Harga keekonomian Pertalite tidak beda jauh dari sekarang, tapi masih tinggi dari Rp 10.000," kata Tutuka di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Rabu (14/6).
Dia memproyeksikan harga Pertalite akan turun dari harga saat ini jika harga minyak berada di rentang US$ 60 sampai US$ 65 per barel. "Kemungkinan Pertalite turun jika harga minyak berada di US$ 60 sampai US$ 65. Kalau sekitar harga itu saya kira bisa turun. Kalau kondisi sekarang belum," ujar Tutuka.
Pada awal Februari lalu, Tutuka mengatakan bahwa harga wajar Pertalite saat itu menyentuh nominal Rp 11.000 per liter. Ketika itu harga minyak masih bergerak di US$ 80-88 per barel.
Selain harga minyak mentah, Tutuka menjelaskan ada tiga formula yang ikut menentukan perhitungan penyesuaian harga BBM Pertalite, yakni harga biaya pengadaan dan pengolahan, biaya distribusi, dan margin perusahaan.
Harga minyak naik pada perdagangan Rabu (14/6) di Asia karena investor menunggu hasil pertemuan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve atau The Fed, untuk menentukan kebijakan suku bunga acuan.
Harga Brent naik US$ 1,18 atau 1,59% menjadi US$ 75,47 per barel, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 1,05 atau 1,51% menjadi US$ 70,47. Simak perkembangan harga minyak Brent tiga bulan terakhir pada databoks berikut.
Pelaku pasar mengharapkan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bank sentral AS untuk menghentikan kenaikan suku bunga karena ketidakpastian prospek ekonomi dan efek dari 10 kenaikan suku bunga sejak Maret 2022.
Suku bunga yang lebih tinggi memperkuat dolar, membuat komoditas dalam mata uang AS lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya. Jeda kenaikan suku bunga Fed akan memacu pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak, mendorong harga minyak.
“Suku bunga kemungkinan besar akan tetap tidak berubah hari ini ketika Fed mempertimbangkan langkah selanjutnya, tetapi pertanyaan yang lebih menonjol adalah apakah jeda ini juga berarti tingkat puncak siklus saat ini telah tercapai atau tidak,” kata analis PVM Oil Tamas Varga seperti dikutip Reuters, Rabu (14/6).