Pemerintah mengegelontorkan anggaran ratusan triliun untuk penanganan pandemi corona. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Walikota Bogor Bima Arya mengakui, dana dalam bentuk bantuan sosial (bansos) maupun pengadaan barang dan jasa terkait Covid-19 rentan dikorupsi.
Ganjar bercerita, dirinya kerap kali mendapat tawaran dari para penyuplai alat kesehatan untuk pengadaan. “Ada yang menawarkan masker, alat pelindung diri (APD), lalu pindah ke rapid test. Pintu masuk dari orang dagang ini lemah," kata dia saat video conference, Sabtu (9/5).
Alhasil, ia beberapa kali membatalkan pengadaan barang untuk alat kesehatan karena ingin memastikan tidak ada celah korupsi. "Ini mudah korupsi. Apalagi kondisi seperti ini," kata Ganjar.
(Baca: APBD-nya Terbesar, Mengapa DKI Jakarta Tak Ada Dana Lagi untuk Bansos?)
Dia pun bercerita, ada satu pemerintah daerah (pemda) di Jawa Tengah yang batal membeli masker dari penyuplai, karena harganya di atas normal. Instansinya pun menerjunkan inspektorat untuk mengevaluasi pengadaan barang.
"Kontrol-kontrol ini harus dilakukan. Ada pendampingan inspektorat kejaksaan diajak koreksi satu per satu," ujar Ganjar.
Sedangkan Walikota Bogor Bima Arya mengungkapkan, program bansos rentan penyelewengan. Penyebabnya, data penerima belum rapih dan nilai bantuan yang besar.
Pemerintah kota Bogor misalnya, menyiapkan anggaran Rp 144 miliar. Dana ini diperole dari realokasi dan refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
(Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Rp 5,2 T untuk Tenaga Medis Tangani Corona)
"Sejauh ini, memang belum ada laporan penyelewengan. Tapi kebiasaan mendekati korupsi kerap kali kami temui," kata dia. Ia mencontohkan, ketika menerima bansos, warga seakan-akan harus memberikan tip kepada orang yang mendata penerima.
Karena kerawanan tersebut, instansinya melakukan pembenahan baik di ranah internal maupun pelibatan publik. "Pada intinya pengawasan dan transparansi merupakan dua hal penting untuk mencegah korupsi saat pandemi virus corona," kata Bima.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melakukan beberapa langkah pencegahan penyelewengan dana penanganan pandemi Covid-19. Caranya, berkoordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) guna mengawasi penggunaan anggaran.
Ketua KPK Firli Bahuri juga meminta masyarakat dan pihak lainnya untuk turut mengawasi penggunaan dana penanggulangan corona. Sebab, jumlahnya sangat besar dan berpotensi dikorupsi.
(Baca: Soal Perppu Corona Kebal Hukum, Sri Mulyani: Tak Berlaku Jika Korupsi)
Pemerintah melalui Perppu Nomor 1 tahun 2020 menganggarkan Rp 405 triliun untuk penanggulangan corona. Dari total tersebut, Rp 110 triliun digunakan untuk mendanai program jaring perlindungan sosial. Di antaranya program kartu prakerja, program keluarga harapan (PKH), kartu sembako, dan diskon tarif listrik bersubsidi.
Selain itu, pemerintah menggelontorkan dana setara 2,5% Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tiga stimulus, dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Pada Februari, pemerintah memberikan stimulus Rp 8,5 triliun untuk memperkuat ekonomi dalam negeri melalui sektor pariwisata.
Pada pertengahan Maret, stimulus lanjutan senilai Rp 22,5 triliun digelontorkan. Stimulus ini berupa kebijakan fiskal dan nonfiskal untuk menopang sektor industri dan memudahkan ekspor-impor.
Lalu, pada akhir Maret, pemerintah menyiapkan Rp 405,1 triliun untuk mendukung pembatasan sosial berskala besar (PSBB). (Baca: Pemerintah Siapkan Anggaran Penanganan Corona hingga 2022)
Stimulus diberikan pada program yang sudah berjalan, yakni Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako. Anggaran PKH menjadi Rp 37,4 triliun, disalurkan untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dari sebelumnya 9,2 juta KPM. Penerima sembako juga naik 31,6 persen setelah anggaran ditambah menjadi Rp 43,6 triliun.