Ada UU Cipta Kerja, Perlukah Sertifikasi Halal bagi UMKM Kala Pandemi?

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.
Seorang desainer yang juga pengusaha busana wanita beralih usaha menjadi pelaku UMKM makanan olahan akibat pandemi COVID-19 di Karang Arum, Pasir Jati, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (8/6/2020). Presiden Joko Widodo berencana memberikan sertifikasi halal secara gratis pada pelaku UMKM dengan menerbitkan rancangan peraturan pemerintah tentang produk halal.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
20/10/2020, 14.06 WIB

Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah mengalokasikan anggaran 2020 berupa fasilitasi sertifikasi halal kepada 3.283 pelaku UMKM. Fasilitas tersebut guna menjalankan kebijakan sertifikasi halal gratis bagi UMKM.

Ia pun mencatat, masih banyak UMKM yang perlu disertifikasi. Berdasarkan catatannya, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 62,5 juta pelaku usaha.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah berkomitmen melakukan penyederhanaan dan percepatan proses perizinan dalam sertifikasi halal. Hal ini tertuang dalam UU Cipta Kerja.

"UU Cipta Kerja berisi kemudahan penetapan kehalalan produk oleh Majelis Ulama Indonesia di provinsi dan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh yang dilakukan dalam sidang fatwa halal," katanya.

Jualan Online

Selain menyampaikan seminar soal pentingnya jaminan kehalalan produk, pemerintah juga terus mendorong UMKM untuk mulai berjualan secara online. Sebab, ada perubahan perilaku konsumen yang lebih banyak berbelanja secara online kala pandemi.

Selama ini, platform digital telah digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia. Dalam Report on Indonesia E-commerce dari Redseer, diproyeksikan adanya peningkatan transaksi e-grocery hingga 400% di 2020, sedangkan penjualan online untuk produk kecantikan dan fesyen meningkat sebesar 80% dan 40% dibanding tahun lalu.

Dengan demikian, salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan oleh UMKM di masa pandemi Covid-19 adalah dengan pemanfaatan teknologi digital. Namun, banyak UMKM yang belum mampu melakukan transaksi daring secara optimal karena terkendala masalah kualitas produk, kapasitas produksi, serta rendahnya literasi digital.

“Saat ini, baru sebanyak 8,3 juta dari 56 juta pelaku UMKM secara nasional yang memanfaatkan teknologi digital, padahal ini lebih diperlukan saat pandemi Covid-19,” kata Wakil Presiden RI K.H. Ma’ruf Amin mengungkapkan dalam sambutannya di acara “Peresmian Peluncuran Program Pelatihan Digitalisasi Pemasaran dan Manajemen Produk Halal bagi UMKM”.

Tak hanya UMKM konvensional, pemerintah juga ingin mendorong penciptaan UMKM berbasis syariah yang dapat berperan dalam global halal value chain. Sehingga, hal ini akan dapat memacu pertumbuhan usaha dan meningkatkan ketahanan ekonomi umat di dalam negeri juga. Caranya antara lain melalui penyederhanaan perizinan dan fasilitasi biaya sertifikasi halal.

“Kita ingin industri halal Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri sekaligus pemain global,” kata Ma’ruf.

Gaya hidup halal (halal lifestyle) tak dipungkiri telah berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir, baik secara global maupun nasional. Data dari The State of the Global Islamic Economy Report 2019/2020 melaporkan besaran pengeluaran makanan dan gaya hidup halal umat muslim di dunia mencapai US$2,2 triliun pada 2018 dan diperkirakan akan terus tumbuh mencapai US$3,2 triliun pada 2024.

Saat ini, Indonesia   masih menjadi konsumen produk halal. Pada 2018, Indonesia telah membelanjakan sekitar US$214 miliar untuk produk makanan dan minuman halal, sehingga kita menjadi konsumen terbesar dibandingkan negara-negara muslim lainnya. “Jadi, kita harus dapat memanfaatkan potensi halal dunia, yaitu dengan meningkatkan ekspor yang masih 3,8% dari total pasar halal dunia,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika