Airlangga-Buruh Beda Pendapat Soal Keputusan MK, Ini Poin Perbedaannya

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sejumlah buruh dari berbagai serikat melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat (19/11/2021).
Penulis: Maesaroh
26/11/2021, 10.45 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan untuk membatalkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh. Namun, MK meminta pemerintah dan DPR merevisi UU Cipta Kerja hingga dua tahun ke depan. 

Menurut MK, UU Cipta Kerja dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat karena dalam proses pembuatannya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Keputusan MK tersebut ditafsirkan berbeda oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga dan serikat buruh.

Perbedaan tafsir utamanya terletak pada validitas UU Cipta Kerja untuk saat ini beserta aturan turunannya.

 Airlangga berpendapat UU Cipta Kerja dan turunanya masih berlaku selagi menunggu perbaikan. Sebaliknya, serikat buruh menganggao UU itu ilegal sehingga harus ditangguhkan dan tidak berlaku.

Berikut pandangan Airlangga yang disampaikan dalam konferensi pers,  Kamis (25/11):

1. Keputusan MK tekah menyatakah UU Cipta Kerja masih berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai tenggang waktu yang MK berikan yakni paling lambat dua tahun setelah keputusan dibacakan.

2. Pemerintah tidak menerbitkan peraturan yang bersifat strategis sampai dilakukan perbaikan atas pembentukan UU Cipta Kerja.
 Dengan demikian peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku.

3. Pemerintah akan menindaklanjuti putusan MK melalui penyiapan perbaikan UU dan melanjutkan arahan MK sebagai mana dimaksud dalam putusan MK.

 Berbeda dengan pemerintah, serikat buruh dalam hal ini disampaikan Kuasa Hukum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Salahudin menyampaikan sebagai berikut:

1.  Tidak ada tafsir lain dari putusan MK bahwa UU Cipta Kerja ilegal.
UU Cipta Kerja dirumuskan dengan metode ilegal. UU Omnibus tidak sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2019  tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

2. Dasar hukum untuk membentuk UU Cipta Kerja yang baru harus direvisi
  Dasar hukum pembentukan UU Cipta Kerja adalah UU Nomor 15 Tahun 2019

3. Harus dilakukan ulang pembentukan UU Cipta Kerja dan prosesnya harus dimulai dari nol

4. Selama revisi belum dilakukan atau selesai revisinya maka pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas.

 Menurut KSPI, keputusan MK sudah sangat jelas yakni menunda atau menangguhkan segala tindakan yang bersifat strategis sebelum revisi selesai.

Norma  atau peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang sekarang ini sudah keluar sepanjang strategis dan berdampak luas harus ditangguhkan.

Dengan demikian aturan ketenagakerjaan yang strategis dan berdampak luas harus kembali ke UU Ketenagakerjaan yang lama.

Beberapa peraturan yang harus ditangguhkan di antaranya adalah PP No 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.

Mengutip situs Setkab.go.id, pemerintah telah menerbitkan 49 peraturan turunan UU Cipta Kerja hingga Februari.  Aturan tersebut akan berdampak ke banyak sektor mulai dari tata ruang, ketenagakerjaan, infrastruktur, hingga isu lingkungan.