Ferry melalui kuasa hukumnya yakni Refly Harun memohon agar dilakukan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945. Permohonan didaftarkan pada tanggal 7 Desember lalu. Dalam permohonannya Ferry menyebut Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Presidential threshold diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam beleid tersebut, pencalonan presiden hanya bisa dilakukan oleh partai atau koalisi partai yang memperoleh 20% kursi DPR di pemilu sebelumnya. Ketetapan ini sudah berlaku sejak Pemilu 2009 silam.

Selain Ferry, dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga mengajukan permohonan yang sama terhadap MK pada 10 Desember lalu. Dalam dalilnya mereka menyebut membiarkan presidential threshold terus dipraktikkan sama artinya membiarkan bangsa terjebak dalam cengkraman politik oligarki, politik percukongan yang dapat membahayakan eksistensi bangsa.

"Itulah sebabnya, kendati sudah ditolak berkali0kali oleh Mahkamah, permohonan penghapusan presidential threshold ini tetap Pemohon ajukan," seperti tertulis dalam surat permohonan.

Terbaru, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga turut mengajukan permohonan yang sama kepada MK. Permohonan tersebut didaftarkan pada tanggal 13 Desember lalu. Dalam permohonannya, Gatot mengutip pernyataan dari beberapa tokoh masyarakat seperti Ketua MK Periode 2003-2009 Jimly Asshiddiqie, Anggota DPR Periode 2019-2024 Fadli Zon, Ketua MK Periode 2013-2015 Hamdan Zoelva dan Wakil Ketua MPR Syarief Hasan.

Dalam dalilnya, Gatot mengatakan kondisi faktual Pemilu Presiden tahun 201 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan polarisasi politik yang kuat seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi.

Halaman:
Reporter: Nuhansa Mikrefin