Kejaksaan masih terus menggali keterlibatan tiga perusahaan sawit dalam dugaan korupsi penerbitan perizinan ekspor (PE) minyak sawit mentah atau crude palm oil / CPO periode Januari-Maret 2022. Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, mengatakan ketiga perusahaan tersebut mengaku telah memenuhi kewajiban memasok untuk pasar dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dalam bentuk minyak goreng.
Namun, kejaksaan menduga tiga perusahaan tersebut tak mendistribusikan minyak goreng tersebut kepada masyarakat. “Di atas kertas, mereka mengakui sudah memenuhi DMO. Tapi di lapangan tidak digelontorkan ke masyarakat, sehingga (stok) kosong dan langka,” kata Febrie kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Rabu (20/4).
Lebih lanjut, Febrie mengatakan stok minyak goreng tersebut diduga tetap berada di grup perusahaan. "Masih di grup dia. Pejabatnya izinkan, seharusnya kan enggak izinkan, dia pastikan dulu nih kalau sudah menyebar di pasar induk, di masyarakat, baru dia izinkan," ujar Febrie.
Kejaksaan kini menahan empat tersangka yang terdiri dari tiga petinggi perusahaan eksportir sawit dan pejabat Kementerian Perdagangan. Tiga petinggi perusahaan tersebut yakni Komisaris Utama Wilmar Nabati Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; dan General Manager PT Musim Mas Picare Togare Sitanggang.
Kejaksaan menduga mereka kongkalikong dengan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana untuk mendapatkan izin ekspor CPO.
Berdasarkan catatan Katadata, tiga perusahaan tersebut merupakan bagian dari lima perusahaan yang menyetorkan DMO minyak goreng terbanyak pada periode 14 Februari - 8 Maret 2022. Lima perusahaan itu yakni Wilmar Grup, Musim Mas, PT Smart, Asian Agri dan Permata Hijau.
Informasi ini disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat konferensi pers pada 9 Maret 2022. Rinciannya, Grup Wilmar tercatat menyalurkan sebanyak 99,26 juta liter minyak goreng. Adapun Musim Mas dan Permata Hijau tercatat menyalurkan DMO minyak goreng masing-masing sebanyak 65,32 juta liter dan 21,19 juta liter.
Pada periode tersebut, tercatat sebanyak 38 produsen minyak goreng telah menyalurkan 415,78 juta liter minyak goreng ke distributor. Artinya, ketiga perusahaan yang petingginya menjadi tersangka tersebut berkontribusi hingga 44,67% dari total setoran DMO minyak goreng pada periode tersebut.
Manajemen PT Wilmar Nabati Indonesia pun menyatakan perusahaan telah memenuhi ketentuan wajib pasokan ke pasar domestik atau DMO minyak goreng sebagai persyaratan perizinan ekspor CPO.
"Wilmar Group telah mematuhi semua peraturan yang berlaku terkait dengan persetujuan ekspor dan kami akan senantiasa kooperatif mendukung kebijakan pemerintah," tulis Manajemen Wilmar Group kepada Katadata, Rabu (20/4).
Sebelumnya Jaksa Agung Burhanuddin menjelaskan para tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan bekerja sama, agar penerbitan izin Persetujuan Ekspor (PE) CPO dapat keluar, tanpa perlu memenuhi syarat aturan pemerintah.
"Dengan kerja sama secara melawan hukum tersebut, akhirnya diterbitkan Persetujuan Ekspor yang tidak memenuhi syarat," kata Burhanuddin, Selasa (19/4).
Menurutnya, syarat perizinan ekspor seharusnya tidak dikeluarkan karena ketiga perusahaan tidak mendistribusikan CPO dan minyak goreng ke dalam negeri sebagaimana kewajiban dalam DMO, yaitu 20% dari total ekspor perusahaan. Selain itu perusahaan tidak mendistribusikan minyak goreng sesuai dengan harga penjualan dalam negeri atau Domestik Price Obligation (DPO).
"Perbuatan para tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian perekonomian negara, yaitu kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dan menyulitkan kehidupan rakyat," jelas Jaksa Agung.
Berikut rincian BLT yang dikeluarkan pemerintah terkait minyak goreng: