Studi ICCT: Bus dan Truk Penyumbang Utama Polusi Udara di Jakarta

ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Petugas dari perusahaan mobil dan lembaga serta instansi lingkungan hidup melakukan uji emisi pada kendaraaan bermotor di Banda Aceh, Aceh, Selasa (12/11/2019).
Penulis: Happy Fajrian
22/11/2022, 17.52 WIB

Hasil studi yang dilakukan oleh The International Council on Clean Transportation (ICCT) menunjukkan bahwa bus dan truk berkontribusi paling besar terhadap polusi udara di Jakarta.

Studi ini dilakukan dari Januari hingga April 2021 menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) untuk mengukur tingkat emisi polutan dari lebih dari 93.000 kendaraan. Kendaraan yang dijadikan sampel yaitu kendaraan penumpang, bus, truk berat dan ringan, sepeda motor, dan taksi.

Dalam melakukan studi ini ICCT bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan didukung oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

“Kami temukan bahwa kendaraan diesel, bus dan truk menghasilkan emisi NOx (nitrogen oksida) tertinggi, sekitar 13-14 kali lebih tinggi dibandingkan kendaraan penumpang lainnya dan taksi,” kata Peneliti ICCT Aditya Mahalana dalam peluncuran laporan Remote Sensing dan Dampak Emisi Kendaraan Bermotor Terhadap Kualitas Udara Jakarta yang digelar Katadata, Selasa (22/11).

Sementara kendaraan penumpang dan truk ringan bermesin diesel yang berbahan bakar solar memiliki emisi Nox 9-10 kali lebih tinggi dibandingkan kendaraan serupa yang berbahan bakar bensin.

Adapun kendaraan bermesin diesel memiliki tingkat emisi CO (karbon monoksida) dan HC (hidrokarbon) lebih tinggi dari kendaraan bermesin bensin, yakni 1,5-2,5 kali lebih tinggi untuk CO dan 1,4-1,5 kali lebih tinggi untuk HC.

Studi ini juga menemukan bahwa setiap kebijakan pemerintah untuk menerapkan standar emisi yang lebih tinggi pada mesin kendaraan berdampak pada penurunan emisi yang signifikan. Seperti pada penerapan standar emisi Euro 2 pada 2007.

Apabila dinyatakan dalam basis gram per kilometer emisi NOx, CO, dan HC, dari kendaraan dengan standar Euro 2 masing-masing 94%, 77%, dan 72% lebih rendah daripada emisi dari kendaraan yang dibuat sebelum tahun 2007.

“Penurunan lebih lanjut sebesar 58% untuk emisi NOx dan 49% untuk emisi CO diamati untuk kelompok kendaraan ini dengan diperkenalkannya standar Euro 4 pada 2018,” tulis laporan ini.

Namun Aditya menambahkan, penurunan tersebut tak terlalu terlihat pada kendaraan bermesin diesel yang hanya sebesar 45% pada NOx, 20% pada CO, dan 18% pada HC. “Memang dibutuhkan kerja keras untuk memperbaiki (menurunkan) emisi dari diesel,” tambahnya.

Sedangkan pengukuran emisi pada bus yang berbahan bakar gas (compressed natural gas/CNG) menunjukkan tingkat emisi NOx yang lebih rendah lagi, meski emisi CO dan HC relatif setara dengan bus berbahan bakar diesel.

Menurut dia, hasil studi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan standar emisi yang lebih baik. Saat ini standar emisi di Indonesia baru sebatas Euro 4, sedangkan di Eropa sudah mencapai Euro 6, bahkan tengah menyiapkan Euro 7.

“Supaya mendorong pemerintah mengadopsi Euro 6 dan menyediakan bahan bakar dengan kadar sulfur ekstra rendah, dan mendorong operator angkutan bus untuk beralih ke standar Euro 6 atau lebih baik lagi bus listrik,” kata Aditya.

Sebagai informasi, laporan ini merinci hasil survei emisi kendaraan secara real-world atau aktual yang ekstensif yang dilakukan oleh The Real Urban Emission (TRUE) Initiative di Jakarta, dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh.

TRUE merupakan sebuah kemitraan antara ICCT dan FIA Foundation, yang bekerja untuk menyediakan informasi kepada kota-kota tentang emisi aktual dari kendaraan bermotor untuk mendukung pengambilan kebijakan yang berbasis bukti ilmiah.