Pada awal kemunculannya, perusahaan teknologi finansial pembiayaan atau fintech lending dinilai bakal menjadi lawan bank. Namun keduanya justru semakin gencar bekerja sama dalam menyalurkan pinjaman, khususnya saat pandemi corona.
Ada beberapa fintech lending yang mengumumkan bekerja sama dengan bank, seperti Akseleran menggaet Bank Mandiri dan BCA. Begitu juga dengan Investree, Modal Rakyat hingga Modalku.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), porsi pemberi pinjaman atau lender insitusi terus meningkat sejak Januari hingga September. Secara berurutan yakni 0,2%; 0,21%; 0,21%; 0,21%; 0,21%; 0,22%; 0,22%, 0,33%, dan 0,34% dibandingkan jumlah lender keseluruhan.
Kenaikan tertinggi yakni dari 0,22% pada Juli menjadi 0,33% di Agustus. Kepala Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Andi Taufan Garuda Putra menilai, lonjakan ini didorong oleh program pemulihan ekonomi nasional (PEN). “Fintech lending mendukung program ini,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (20/11).
Dalam program PEN, pemerintah menempatkan dana di bank milik pemerintah dalam bentuk deposito total Rp 30 triliun pada tahap awal. Ini bertujuan menjaga likuiditas perbankan, karena bank harus menyalurkan kredit tiga kali lipat dari penempatan dana tersebut.
Itu artinya, Bank Mandiri dan BRI harus menyalurkan kredit masing-masing Rp 30 triliun. Sedangkan BNI dan BTN Rp 15 triliun, selama Juni hingga September.
Jika merujuk pada pelaksanaan program tersebut, lonjakan porsi lender institusi di platform fintech lending sejalan dengan besarnya penyaluran kredit bank berpelat merah. Selain itu, “penyaluran pembiayaan fintech pendanaan berangsur ke tingkat sebelum ada pandemi Covid-19,” ujar Taufan.
Startup di sektor itu juga gencar berkolaborasi dengan e-commerce. Ini karena profil risiko Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berjualan online lebih terukur lantaran data transaksinya tercatat.
Di satu sisi, pemerintah juga meluncurkan digital kredit UMKM atau DigiKu pada Juli lalu (17/7). Himpunan bank milik negara (Himbara) pun diminta menyalurkan pinjaman Rp 4,2 triliun terkait program ini, sehingga menambah peluang kolaborasi dengan fintech.
Apalagi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat bahwa 2,7 juta UMKM mendigitalisasikan bisnisnya sejak 14 Mei hingga 15 Oktober. Totalnya sekitar 11 juta atau 16% dari jumlah UMKM di Tanah Air.
AFPI optimistis, penyaluran pembiayaan di sektor ini tumbuh 30%-40% pada tahun depan. Sedangkan tahun ini, nilainya diproyeksikan Rp 60 triliun.
Sebelumnya, Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi memang mendorong anggotanya berfokus menyasar sektor yang mampu bertahan di masa krisis pagebluk virus corona. Salah satunya, mengandalkan pusat data yang disebut pusdafil untuk memitigasi risiko kredit macet. Sejauh ini, ‘alat’ yang juga dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) itu telah menjaring 26 juta data peminjam.
Adrian pun mendorong anggota AFPI memperluas kolaborasi dengan berbagai ekosistem, mulai dari pemerintah, perbankan hingga perusahaan teknologi lainnya. “Ada lembaga keuangan atau ekosistem teknologi lain seperti e-commerce dan berbagi tumpangan (ride-hailing). Itu potensial karena terus tumbuh,” ujar dia, pada September lalu (30/9).
Langkah itu terbukti meningkatkan keberhasilan pengembalian pinjaman di bawah 90 hari (TKB 90) per September dibandingkan Agustus. Meskipun, kredit macet atau tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman di atas 90 hari (TWP 90) mencapai 8,27%.
Fintech | Bank yang Digaet |
Akseleran | BCA, Bank Mandiri, BPR Supra, Bank J Trust Indonesia, Bank SulutGo, Bank Permata, CIMB Niaga, BNI, BRI |
Investree | Bank Danamon, Bank Mandiri, BRI Syariah, Bank SulutGo |
Akulaku | Bank Yudha Bhakti |
Kredivo | Bank Permata |
KoinWorks | Bank Mandiri |
Amartha | Bank Mandiri dan Bank Jatim |
Crowde | Bank Mandiri |
Adakami | Bank SulutGo |
Fintag | Bank SulutGo |
Pintek | Bank SulutGo |
Modalku | Bank Sinarmas |
Modal Rakyat | BRI, BRI Agro |
Danain | Bank Ganesha |
Catatan: Kerja sama berupa channeling dan lainnya. Jumlah fintech dan bank yang bekerja sama bisa lebih dari yang ada di tabel.
Sumber: data diolah Katadata
Katadata.co.id sudah mengonfirmasi kemungkinan penyebab lonjakan kolaborasi antara bank dan fintech lending kepada juru bicara OJK Sekar Putih Djarot. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.
Jumlah Rekening Lender | Porsi Lender Institusi | |
Desember 2019 | 605.935 | 0,2% |
Januari | 616.000 | 0,2% |
Juli | 663.865 | 0,22% |
Agustus | 669.580 | 0,33% |
September | 681.632 | 0,34% |
Sumber: OJK
Namun, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sempat mendorong bank-bank kecil untuk menggandeng fintech, pada Juli lalu. Selain itu, perbankan dinilai perlu menggaet startup sektor ini untuk menjangkau konsumen di daerah, sehingga tidak perlu membuka kantor cabang.
Akan tetapi, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta menyatakan akan merekomendasikan fintech pilihan kepada perbankan. Ini karena 20% pemain di sektor ini menguasai pangsa pasar. “Yang lain kontribusinya terbatas,” kata dia saat saat mengikuti acara pemilihan ketua AFPI yang baru, September lalu (30/9).
Selain itu, menyeleksi fintech lending yang memiliki kriteria sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah (pemda). “Ini karena ada dana pemerintah (terkait program PEN),” kata dia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira Adhinegara sepakat bahwa bank harus selektif menggandeng fintech pembiayaan. “Ini karena banyak yang masuk sektor konsumsi. Ke depan kredit macetnya bisa naik tinggi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (20/11).
Sedangkan terkait melonjaknya kolaborasi fintech pinjaman dan bank, karena beberapa faktor. Pertama, banyaknya korban pemutusan hubungan kerja (PHK) saat pandemi corona.
Kedua, bank cenderung berhati hati dalam menyalurkan pinjaman ke debitur baru dan segmen kredit konsumsi. “Maka alternatifnya fintech,” kata Bima.
Ketiga, proses pencairan pinjaman melalui fintech lebih cepat dibandingkan lembaga keuangan tradisional. Ini menjadi daya tarik debitur baru. Terakhir, nominal pinjaman fintech per debitur rata-rata lebih kecil dibandingkan kredit bank yang mepengaruhi minat masyarakat.
Sedangkan ekonom senior Indef Aviliani menilai, industri keuangan non-bank (IKNB), termasuk fintech perlu bekerja sama dengan perbankan untuk bisa bertumbuh. “Mereka belum mempunyai ekosistem yang cukup untuk menutup biaya operasional,” ujar dia dalam diskusi virtual berjudul ‘bank tradisional versus neo bank,” Selasa lalu (17/11).
Sedangkan neobank atau bank tanpa kantor sama sekali dinilai akan menjadi tren ke depan. Ini akan menjadi pesaing kuat fintech.
Co-founder sekaligus CEO KoinWorks Benedicto Haryono menilai, kerja sama antara bank dengan fintech lending akan terus terjalin. “Ini karena tren digitalisasi semakin kuat dan Covid-19 mengakselerasi pebisnis untuk go-online,” kata dia dalam small group interview secara virtual, Kamis (19/11).
Di satu sisi, ia menilai belum semua bank siap untuk mendigitalisasikan bisnisnya hingga layaknya neobank. Sekalipun ada, masih pada tahap awal. “Di luar negeri banyak bank yang melakukannya sendiri. Pada akhirnya, biaya yang mereka keluarkan lebih besar dibandingkan outsourcing (kerja sama) seperti ini,” katanya.
Oleh karena itu, ia optimistis kerja sama akan berlanjut untuk meminimalkan biaya. “Perbankan memiliki keuntungan dari segi ‘bola kristal’. Hikmah apa yang bisa diambil? Saya kira tren (kolaborasi) akan terus berlangsung,” ujar Benedicto.
Selain itu, meski kredit macet fintech lending melonjak saat pandemi virus corona, investor dinilai tetap mendapatkan keuntungan. Di KoinWorks misalnya, imbal hasil rata-rata 14-25% per tahun, tergantung dari portofolio pinjaman.
Sedangkan pinjaman yang direstrukturisasi 10% imbas pagebluk Covid-9. “Dibandingkan potensi kehilangan maksimal 10%, ya cukup profitabel. Ini tergantung mereka diversifikasi yang cocok atau tidak,” ujarnya.
Co-Founder sekaligus CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, kolaborasi membantu bank menjangkau UMKM di pelosok. Bagi fintech, ini menjaga keamanan dana. “Perbankan berperan sebagai bank kustodian dan pemegang escrow account,” kata dia kepada Katadata.co.id.
Rekening bersama atau escrow account itu dikelola langsung oleh bank dan digunakan untuk menyimpan seluruh dana pengguna fintech. “Modalku hanya berperan sebagai perantara masuknya dana. Semua transaksi otomatis terintegrasi dengan sistem pinjam-meminjam,” ujarnya.
Saat ini, Modalku telah menyalurkan pendanaan Rp 760 miliar lebih kepada 26 ribu pengusaha online di Indonesia. Rata- rata pinjaman ke pedagang online sekitar Rp 25 juta, meskipun aksesnya hingga Rp 250 juta.
“Pendapatan penjualan online di Indonesia tumbuh 54% secara tahunan (year on year/yoy). Potensi ini menjadi motivasi bagi kami untuk menjangkau lebih banyak pengusaha online,” ujar Co-Founder sekaligus COO Modalku Iwan Kurniawan.