Startup pengelola keuangan digital untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), BukuKas meraih investasi US$ 10 juta atau sekitar Rp 142 miliar. Dana segar ini akan digunakan untuk mengembangkan perangkat lunak (software) end to end yang mendukung UMKM dan membangun bank digital.
Pendanaan seri A tersebut dipimpin oleh Sequoia Capital India. BukuKas pun telah mengumpulkan dana segar US$ 22 juta, termasuk dari investor terdahulu seperti Saison Capital, January Capital, Founderbank Capital, Cambium Grove, Endeavour Catalyst, dan Amrish Rau.
Co-Founder sekaligus CEO BukuKas Krishnan Menon mengatakan, visi perusahaan yakni menyediakan sejumlah perangkat lunak end to end untuk mendigitalkan UKM. “Membantu mereka di berbagai kegiatan sebagai prekuel untuk membangun bank digital yang berfokus pada UKM,” kata dia dikutip dari TechCrunch, Selasa (12/1).
UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, karena menyumbang sekitar 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah UMKM di Tanah Air juga lebih dari 64 juta, sebagaimana Databoks di bawah ini:
Di satu sisi, pemerintah mendorong UMKM untuk mendigitalkan bisnisnya selama pandemi corona. Ini untuk menahan dampak negatif dari pagebluk virus corona.
Imbauan itu tentu berdampak positif terhadap BukuKas, yang menyediakan solusi teknologi digitalisasi bisnis. Per November 2020, startup ini pun memiliki 3,5 juta pengguna terdaftar yang terdiri dari pedagang kecil dan pengecer. Sedangkan jumlah pengguna aktif bulanan atau MAU melampaui 1,8 juta.
BukuKas berfokus pada UMKM di kota-kota kecil di Indonesia. Sekitar 73% penggunanya berdomisili di luar kota tier atau tingkat satu seperti Jakarta.
Startup itu mengklaim transaksi mencapai US$ 17,4 miliar per tahun. Nilainya setara dengan lebih dari 1,5% dari PDB Indonesia.
Perusahaan rintisan itu pun berencana meluncurkan layanan pembayaran digital pada bulan ini. Hingga akhir 2021, BukuKas juga bakal memperkenalkan fitur baru termasuk termasuk ‘tools’ pada tampilan muka toko online, mesin promosi, dan berbagi di media sosial.
“Dengan adanya Covid-19, UKM terburu-buru untuk mendigitalisasi bisnis, tetapi mereka tidak memiliki ‘alat’ seluler yang tepat untuk menjual secara online maupun mengelola usaha,” kata Menon.
Namun, ia tidak memerinci terkait rencananya membangun bank digital. Sedangkan di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan aturan mengenai bank digital.
Beberapa bank seperti BCA dan Gojek sudah merambah bisnis ini. Sebelumnya, Kepala OJK Institute Agus Sugiarto menilai neobank atau layanan perbankan digital tanpa adanya kontak fisik (virtual banking) sangat menjanjikan. Alasannya, pengguna internet di Indonesia hampir 200 juta orang.
Selain itu, berdasarkan survei OJK, indeks inklusi keuangan Indonesia hanya 76,19%. “Potensinya luar biasa besar sekali," ujar Agus dalam diskusi online bertajuk ‘Traditional Bank vs Neobank’, September lalu (17/11/2020).
Selama pandemi Covid-19 masyarakat juga semakin terbiasa menggunakan layanan digital. “Terakhir, potensinya besar karena belum ada neobank yang beroperasi secara resmi di Indonesia," kata Agus.