- Regulator AS, Eropa, dan Tiongkok menyiapkan aturan baru terkait penggunaan data oleh raksasa teknologi
- Pemerintah AS dan Tiongkok menilai para raksasa teknologi mematikan persaingan
- Indonesia sudah mempersiapkan diri untuk mengantisipasi potensi monopoli big tech
Raksasa teknologi seperti Facebook, Google, Alibaba hingga Tencent memasuki era baru ketika regulator mulai menyiapkan aturan yang dapat mengekang ‘kekuatan’ mereka. Pemerintah Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Eropa menduga, big tech seperti mereka menciptakan monopoli.
Google misalnya, dituduh bekerja sama dengan Facebook memonopoli bisnis iklan digital. “Google berusaha membunuh pesaing dan melakukannya melalui serangkaian taktik pengecualian, termasuk perjanjian yang melanggar hukum dengan Facebook,” demikian tertulis dalam dokumen gugatan yang diajukan oleh Texas dan sembilan negara bagian AS, dikutip dari Reuters, Kamis (17/12).
Mereka mencontohkan blog sepatu, yang menggunakan perangkat lunak dari Google untuk iklan, meraup pendapatan dari pengecer alas kaki yang beriklan di Facebook. Yang tidak diumumkan oleh Google kepada publik yakni Facebook setuju untuk tidak mendukung software pesaing.
“Facebook memutuskan untuk mengatasi ancaman persaingan di hadapan Google dan kemudian membuat kesepakatan untuk memanipulasi lelang,” kata tim komunikasi internal Texas dan sembilan negara bagian lainnya.
Sebagai gantinya, Facebook menerima berbagai manfaat, termasuk akses ke data Google dan pengecualian kebijakan yang memungkinkan klien mendapatkan lebih banyak iklan.
Google menyebut gugatan tersebut tidak patut dilayangkan. Sedangkan Facebook belum berkomentar.
eMarketer memperkirakan, Google meraup sepertiga pengeluaran iklan digital global atau sekitar US$ 42 miliar pada tahun ini.
Selain itu, Jaksa Agung Demokrat Colorado, Phil Weiser dan Jaksa Agung Republik Nebraska Doug Peterson menuntut Google terkait dugaan monopoli menggunakan mesin pencarian. Anak usaha Alphabet Inc ini juga dituduh memakai jaringan ilegal dan eksklusif untuk merugikan pesaing yang lebih kecil.
Big tech lainnya, Facebook bahkan diminta pisah dari Instagram dan WhatsApp. Komisi Perdagangan Federal atau FTC AS menilai, akuisisi ini merupakan bagian dari strategi perusahaan untuk memonopoli media sosial.
FTC menuduh Facebook mengakuisisi saingan untuk mengurangi persaingan dan menghancurkan pemain kecil lain dengan membatasi akses ke layanan. “Waktu, perhatian, dan data pribadi pengguna digabungkan dan dijual dengan cara yang tidak adil,” kata FTC dikutip dari Financial Times, Senin lalu (14/12).
Regulator Jerman juga memulai proses investigasi terhadap Facebook terkait penautan produk realitas virtual (VR) Oculus dengan media sosial. Perusahaan dinilai menyalahgunakan kekuatan.
Facebook mengakuisisi Instagram US$ 1 miliar pada 2012. Kemudian WhatsApp US$ 19 miliar dan Oculus US$ 2,3 miliar pada 2014. Setidaknya raksasa teknologi ini telah mengambil alih 87 perusahaan sejak 2005.
Dosen di Cardozo School of Law at Yeshiva University, Sam Weinstein menilai bahwa gugatan FTC terhadap Facebook mengejutkan. Selama ini, FTC sering dikritik karena kebijakannya dinilai longgar.
Para ahli pun menilai, gugatan FTC untuk membubarkan Facebook sulit tercapai. Mereka juga harus meyakinkan hakim yang dinilai enggan bertindak sejauh itu.
“Langkah ini belum pernah dicoba,” kata mantan kepala teknologi FTC yang kini menjadi peneliti senior di Institut Charles Koch, Neil Chilson, dikutip dari Bloomberg, Kamis (17/12).
Sebelumnya, Subkomite Kehakiman Kongres AS juga merilis laporan terkait praktik monopoli yang dilakukan oleh raksasa teknologi. Mereka pun menyerukan reformasi UU Antimonopoli.
Isi laporan tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Apple | Mengenakan pungutan 30% atas setiap transaksi di App Store |
Amazon | Dianggap menciptakan konflik kepentingan atas dominasi layanan komputasi awan (cloud) dan lainnya |
· Dituduh ‘memanipulasi’ hasil di mesin pencarian untuk mendukung produk sendiri atau tertentu. Google menguasai 90% pasar mesin pencarian di AS· Menggunakan kekuatan atas akses data pengguna untuk menutup persaingan | |
Diduga memonopoli industri media sosial dengan mengakuisisi Instagram dan WhatsApp |
Sumber: CNBC Internasional
Dugaan monopoli juga menimpa raksasa teknologi Tiongkok. Pada awal November lalu, anak usaha Alibaba Group Holding, Ant Group menunda rencana pencatatan saham perdana atau initial public offering (IPO) di Shanghai dan Hong Kong karena People's Bank of China (PBOC) tengah menyiapkan aturan.
Profesor hukum keuangan China University of Political Science and Law Wei Jingmiao mengatakan, regulator tengah mengkaji ulang dampak dari masuknya Ant Group terhadap ekosistem Star Market atau bursa Shanghai. “Ini seperti menjatuhkan ikan paus ke dalam kolam, sementara perusahaan lainnya di papan tersebut mayoritas berukuran kecil dan menengah,” katanya dikutip dari Kr-Asia, November lalu (5/11).
Pada Selasa lalu (15/12), Badan Nasional Regulasi Pasar Tiongkok atau SAMR juga mendenda Alibaba, anak usaha Tencent, China Literature, dan Shenzhen Hive Box Technology total 1,5 juta yuan atau Rp 3,24 miliar. Alasannya, tidak melaporkan akuisisi.
Regulator Siapkan ‘Tali Kekang’ untuk Big Tech
Pada November lalu, pemerintah Tiongkok menerbitkan aturan antimonopoli yang baru. Ini melengkapi Undang-undang (UU) Antimonopoli pada 2007, yang berlaku untuk perusahaan asing yang mendominasi pasar.
Partner di firma hukum Han Kun, Ma Chen mengatakan bahwa otoritas khawatir perusahaan menjadi terlalu kuat, sehingga mempersulit korporasi lain berkembang. "Ini momen yang menentukan,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, November lalu (10/11).
Sepengetahuannya, Alibaba selama ini membatasi mitra penjual atau merek (brand) menjual produk di platform lain. SAMR pun mengundang lebih dari 20 perusahaan digital, termasuk Alibaba dan Tencent pada tahun lalu.
Dalam pertemuan itu, SAMR meminta kedua raksasa teknologi itu berhenti mewajibkan penjual menandatangani perjanjian kerja sama eksklusif.
Selama ini, regulator menggunakan indikator seperti pendapatan atau pangsa pasar untuk menentukan apakah suatu perusahaan melakukan monopoli atau tidak. Namun, ini tidak berlaku bagi perusahaan digital yang mengontrol informasi berharga atau data yang belum dimonetisasi.
Di satu sisi, kapitalisasi pasar gabungan perusahaan digital di Tiongkok hampir US$ 2 triliun atau sekitar Rp 28.126 triliun. Khusus untuk Alibaba dan Tencent bahkan melampaui bank milik negara, seperti Bank of China.
Kini, Beijing juga mempertimbangkan pengenaan pajak digital kepada perusahaan teknologi yang memiliki data pengguna dalam jumlah besar. “Mereka seperti memegang tambang mineral yang berharga,” kata Kepala Biro Pengawasan Sains dan Teknologi di China Securities Regulatory Commission (CSRC) Yao Qian kepada Beijing News dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Kamis (17/12).
Ia menilai, pemerintah harus mempelajari secara mendalam apakah pengenaan pajak kepada perusahaan digital sama dengan korporasi yang bergerak di bidang sumber daya alam.
Sedangkan Kepala Komisi Pengaturan Perbankan dan Asuransi China Guo Shuqing menyampaikan, data berkontributor besar terhadap perekonomian selayaknya tenaga kerja dan modal. “Raksasa teknologi memiliki kendali de facto atas data. Hak data dari berbagai pihak harus segera diklarifikasi. Selain itu, meningkatkan aliran data dan mekanisme penetapan harga," kata dia.
FTC AS juga mulai menyoroti penggunaan data oleh big tech yang diduga memicu monopoli. Komisi mengeluarkan perintah kepada sembilan perusahaan teknologi untuk melaporkan tentang bagaimana mereka mengumpulkan dan menggunakan data pengguna.
Perusahaan yang dimaksud yakni pemilik TikTok, ByteDance, Amazon, Discord, Facebook dan anak usahanya, WhatsApp, Reddit, Snap, Twitter, dan YouTube milik Google. Mereka diwajibkan menyerahkan laporan dalam 45 hari.
CNBC Internasional melaporkan, FTC akan mengkaji tentang bagaimana raksasa teknologi menentukan iklan yang tampil di platform. Selain itu, untuk mencari tahu apakah algoritme atau analisis data digunakan pada informasi pribadi.
“Bagaimana mereka mengukur promosi, dan meneliti keterlibatan pengguna,” demikian tertulis pada pengumuman FTC, dikutip dari CNBC Internasional, Senin lalu (14/12). Selain itu, bagaimana praktik data memengaruhi konsumen anak-anak dan remaja.
Uni Eropa juga menyiapkan satu set aturan bernama Digital Markets Act (DMA) yang terdiri dari dua UU baru, salah satunya terkait monopoli. Komisaris Persaingan Eropa Margrethe Vestager mengatakan, regulasi ini bertujuan mengatasi perilaku raksasa teknologi yang bisa menutup akses pasar dan berkembangnya perusahaan kecil.
"Aturan itu untuk memastikan bahwa kami sebagai pengguna, memiliki akses ke berbagai pilihan produk dan layanan online yang aman," kata Margrethe dikutip dari Reuters, Selasa lalu (15/12). "Bisnis yang beroperasi di Eropa dapat dengan bebas dan adil bersaing secara online seperti yang mereka lakukan secara offline."
Sikap Indonesia terhadap Raksasa Teknologi
Selain negara maju, pemerintah di Asia Tenggara mulai mengantisipasi potensi monopoli oleh raksasa teknologi. Tech In Asia melaporkan, Singapura baru-baru ini mengusulkan perubahan UU data pribadi. Sedangkan Thailand mengambil tindakan hukum terhadap Facebook dan Twitter pada September lalu, karena mengabaikan permintaan untuk menghapus konten.
Terkait data, pemerintah Indonesia masih membahas Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi atau RUU PDP dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beleid ini ditarget terbit pada awal tahun depan.
Sedangkan dari sisi layanan keuangan digital, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengantisipasi lima risiko yakni dari sisi regulasi, operasional, strategis, teknologi, dan data.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengamati perkembangan big tech, seperti Amazon dan Alibaba yang melebarkan sayap hingga masuk ke sektor keuangan. Transformasi ini dinilai menjadi tantangan bagi otoritas keuangan. "Isu risiko sistemik harus diantisipasi saat merespons disrupsi digital," ujar dia dalam acara virtual Indonesia Digital Conference yang digelar oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Selasa (15/12).
Sedangkan Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar menambahkan, risiko yang paling menjadi perhatian pemerintah yakni regulatory blind swap. “Selain yang baru, risiko (yang sudah ada) meningkat,” katanya dalam acara Fintech Summit 2019 di JCC, Jakarta, September tahun lalu (24/9/2019).
Hal itu karena model bisnis perusahaan teknologi terus berubah. “Regulator sebutnya unknown risk, karena model bisnisnya berubah terus. Jadi kami harus selalu berjaga-jaga. Intinya agile,” kata Batunanggar.
Selain itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah mengenakan pajak digital. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari enam perusahaan asing untuk periode Agustus bahkan mencapai Rp 97 miliar.
Keenamnya yakni Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte. Ltd, Google LLC, Google Ireland Ltd, Netflix International B.V, dan Spotify AB. Masih ada 30 perusahaan digital yang belum menyetorkan PPN.