Pajak Karbon Lintas Negara Ancam Daya Saing Produk Ekspor Indonesia

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Ilustrasi ekspor-impor. Suasana Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (12/1/2021). Pajak karbon yang diterapkan berbagai negara di dunia berpotensi menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia.
15/7/2021, 13.47 WIB

Sejumlah negara akan menerapkan pajak karbon sebagai biaya tambahan impor. Hal ini dinilai akan membuat negara pengekspor seperti Indonesia dalam posisi sulit. Pasalnya progres melihat transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan di dalam negeri masih belum sesuai harapan.

Uni Eropa telah menerapkan pajak karbon. Sedangkan senat Amerika Serikat (AS) sudah mengusulkan penerapan pajak karbon terhadap barang impor. Keduanya merupakan pasar tujuan ekspor Indonesia yang sangat penting.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai Indonesia perlu segera melakukan transformasi sistem energi secara cepat. Pasalnya, jika terlambat hal ini akan berdampak cukup besar bagi produk ekspor dari Indonesia kedepannya.

"Kalau Indonesia tak cepat melakukan transformasi di sistem energi maka yang kami khawatirkan produk ekspor kita tidak lagi kompetitif karena akan dihitung carbon content-nya dan akan dikenakan pajak yang besar," ujarnya dalam sebuah acara diskusi virtual, Kamis (15/7).

Oleh sebab itu, tambah Fabby, upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang serius sangat penting untuk segera dilakukan. Bukan semata-mata karena sektor kelistrikan dan transportasi saja, namun lebih kepada perekonomian nasional.

Selain itu, rendahnya realisasi pengembangan EBT di Indonesia juga akan berdampak pada investasi. Mengingat investor global saat ini sangat menaruh fokus pada sumber energi bersih bagi kegiatan usahanya.

"Perusahaan multinasional akan menggunakan green energy. Kalau listrik yang ada di Indonesia tidak memenuhi kebutuhan itu maka bisa jadi perusahaan akan menunda atau bahkan membatalkan investasinya di Indonesia," ujarnya.

Pemerintah sebenarnya telah mengidentifikasi energi baru terbarukan tak hanya dari isu lingkungan semata, tetapi juga ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membenarkan bahwa pasar global saat ini mulai fokus pada produk hasil industri yang memiliki jejak karbon atau carbon footprint yang rendah.

Airlangga mengajak pelaku industri pengolahan atau manufaktur mulai memperhatikan sumber energi listriknya untuk memenuhi tren di pasar global. Untuk itu, penting upaya bersama mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

"Sumber energi dari fosil tidak menjanjikan dibandingkan EBT. Hal ini akan berdampak pada industri pengolahan kita," ujar Airlangga beberapa waktu lalu.

Lembaga pembiayaan saat ini juga mulai mengurangi pendanaannya ke proyek energi fosil dan lebih mendukung ke arah proyek yang lebih ramah lingkungan. Oleh sebab itu, ia mendorong pengembangan EBT secara masif.

EBT pun lambat laun juga semakin kompetitif seiring dengan semakin murahnya teknologi. "Sehingga, cepat atau lambat energi terbarukan akan menggantikan energi fosil," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan