Konferensi Perubahan Iklim PBB Conference of The Parties ke-27 atau COP27 resmi dibuka pada Minggu (6/11) di Sharm el-Sheikh, Mesir. Pertemuan ini digelar di tengah krisis iklim yang terus memburuk dengan beberapa negara menghadapi banjir dan gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Selain itu, munculnya bencana kekeringan akut dan badai yang hebat merupakan tanda darurat dari krisis iklim yang sedang berlangsung. Di saat yang sama, jutaan orang di seluruh dunia menghadapi dampak krisis energi, makanan, air, dan biaya hidup, yang diperparah oleh konflik dan ketegangan geopolitik yang tak kunjung usai.
Pertemuan tahunan ini digelar untuk memastikan implementasi dari Persetujuan Paris 2015 yang menyepakati upaya pengurangan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 1,5 derajat celcius.
Dalam keadaan yang serba negatif ini, beberapa negara mulai menghentikan atau mengubah kebijakan iklim mereka untuk kembali menggunakan bahan bakar fosil. Pertemuan COP27 juga berlangsung di tengah menurunnya intensi untuk mengekang emisi gas rumah kaca.
Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB atau UN Climate Change, Simon Stiell, meminta para pemimpin negara yang hadir dalam COP27 agar fokus pada tiga hal, yakni pergeseran transformasional ke arah implementasi Perjanjian Paris dan aksi nyata dari kesepakatan yang dicapai.
Kedua, memperkuat alur kerja penting mitigasi, adaptasi, keuangan dan kerugian dan kerusakan, sambil meningkatkan keuangan terutama untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Ketiga, meningkatkan penyampaian prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas di seluruh proses Perubahan Iklim PBB.
“Setiap orang di mana pun dan kapan pun perlu melakukan segala hal yang mereka bisa untuk mencegah perubahan iklim. Litmus test dari COP27 dan setiap COP di masa depan adalah seberapa jauh kesepakatan yang dicapai diikuti dengan aksi nyata,“ kata Stiell dalam siaran pers dikutip Senin (7/11).
Menurut Stiel, COP27 menetapkan arah baru untuk era implementasi baru, di mana hasil dari proses formal dan informal benar-benar mulai berpadu untuk mendorong aksi iklim yang lebih besar, dan tanggung jawab atas kemajuan itu.
Menurut hasil panel antar pemerintah tentang perubahan iklim PBB, emisi CO2 perlu dikurangi 45% pada tahun 2030 demi memenuhi tujuan Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celcius pada akhir abad ini.
Hal ini penting untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim, termasuk kekeringan berkepanjangan, gelombang panas, dan curah hujah yang tak menentu. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh UN Climate Change menjelang COP27 menunjukkan bahwa kurva emisi rumah kaca global cenderung menekuk ke bawah.
Laporan tersebut juga menyampaikan, upaya membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celcius pada akhir abad ini sulit tercapai jika masih menerapkan upaya konservatif atau mengambil jalur bersikap mempertahankan keadaan atau kebiasaan yang berlaku.
Sejak COP26 di Glasgow tahun lalu, hanya 29 dari 194 negara yang mengambil langkah progresif dengan memperketat rencana nasional tentang perubahan iklim.
Visi COP27
Kepresidenan COP27 Mesir telah menetapkan visi ambisius untuk COP tahun ini dengan hak dasar manusia sebagai jantung upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.
Kepresidenan bermaksud untuk memusatkan perhatian dunia pada elemen-elemen kunci yang memenuhi beberapa kebutuhan paling mendasar dari orang-orang di mana pun, termasuk ketahanan air, ketahanan pangan, kesehatan, dan ketahanan energi.
“Kami berkumpul tahun ini di saat aksi iklim global berada pada momen penting. Multilateralisme sedang ditantang oleh geopolitik, kenaikan harga, dan krisis keuangan yang meningkat, sementara beberapa negara yang dilanda pandemi baru saja pulih, dan bencana akibat perubahan iklim yang parah dan menipis menjadi lebih sering terjadi,“ kata Menteri Luar Negeri Mesir dan Presiden COP27, Sameh Shoukry.
COP27 menciptakan peluang bagi dunia untuk bersatu, membentuk kerja-kerja multilateral dengan memulihkan kepercayaan dan bersatu untuk meningkatkan ambisi dan tindakan dalam memerangi perubahan iklim.
“COP27 harus diingat sebagai 'Implementasi COP', dimana kita mengembalikan kesepakatan besar yang menjadi inti dari Perjanjian Paris,“ ujar Sameh Shoukry.