Tarif Listrik Panas Bumi Rendah, Pengusaha Tagih Kepastian Insentif

ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Instalasi sumur geothermal atau panas bumi milik PT Geo Dipa Energi di dataran tinggi Dieng Desa Pranten, Bawang, Batang, Jawa Tengah, Senin (13/1/2020).
2/10/2021, 08.46 WIB

Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) menilai Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) cukup menarik. Namun investor minta kepastian insentif dari regulator dalam mengimplementasikan aturan tersebut.

Ketua API Priyandaru Effendi mengatakan perpres harga EBT menjanjikan insentif berupa penggantian biaya pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Namun dia masih mempertanyakan mekanisme penggantian biaya tersebut seperti apa.

"Caranya gimana? Itu pasti atau masih 'subject to' lainnya? Yang kami mau semua yang dijanjikan di sana sudah pasti diberikan tanpa mekanisme aplikasi yang berbelit-belit," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (1/10).

Pasalnya, menurut Priyandaru tarif PLTP yang tertulis di dalam perpres sangatlah rendah. Sehingga, pengembang membutuhkan semua insentif yang dijanjikan di dalam Perpres untuk membantu kelayakan proyek secara pasti.

Selain itu, pengembang juga menginginkan untuk proyek-proyek yang saat ini sedang berjalan tetap mengunakan aturan-aturan yang berlaku saat ini. Salah satunya dengan mempertegas lagi dukungannya di Perpres agar hambatan-hambatan yang ada bisa selesai.

Seperti diketahui, Kementerian ESDM telah merampungkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT). Beleid ini akan mengatur harga jual listrik EBT dengan tiga mekanisme.

Perpres ini akan mengatur harga jual listrik dengan mekanisme Feed In Tariff (FIT), Harga Patokan Tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan tenaga listrik dari pembangkit peaker. Simak sebaran wilayah eksplorasi panas bumi dan kapasitasnya pada databoks berikut:

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan, implementasi dari perpres EBT akan dilakukan secara bertahap. Dalam 10 tahun pertama harga listrik pembangkit EBT akan tinggi, baru setelah 10 tahun beroperasi tarif listrik akan turun.

"Nanti akan dilakukan secara staging (bertahap), harga awal lebih tinggi selama 10 tahun, kemudian turun," kata Dadan kepada Katadata.co.id, Kamis (30/9).

Dadan berharap perpres ini akan menggairahkan investasi di sektor EBT. Adapun proyeksi investasi pembangkit EBT sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yakni mencapai Rp 500 triliun.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, berikut beberapa tarif listrik yang masuk dalam draft Perpres harga EBT:

1. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA):
PLTA = (kurang dari sama dengan) 10 MW: FIT US$ 0,099 (9,9 sen dolar) per kWh
PLTA 10-50 MW: HPT US$ 0,08 (8 sen) per kWh
PLTA >= (lebih dari sama dengan) 100 MW: HPT US$ 0,068 (6,8 sen) per kWh
PLTA Peaker: negosiasi

2. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS):
PLTS = 10 MW: FIT US$ 0,1015 (10,15 sen) per kWh
PLTS >= 10 MW: HPT US$ 0,075 (7,5 sen) per kWh

3. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP):
PLTP 10-50 MW: HPT US$ 0,0892 (8,92 sen) per kWh
PLTP 50-100 MW: HPT US$ 0,0819 (8,19 sen) per kWh
PLTP >= 100 MW: HPT US$ 0,075 (7,5 sen) per kWh

Kementerian ESDM mengklaim harga jual beli listrik dari panas bumi secara skala ekonomi (economies of scale) sudah sangat kompetitif jika dibandingkan dengan PLTU batu bara.

"Perpres harga EBT ini ditujukan untuk memberikan landasan hukum pencapaian target EBT dengan kebijakan harga keekonomian EBT yang wajar dan terjangkau," kata Kementerian ESDM.

Reporter: Verda Nano Setiawan