Pemerintah Beberkan Alasan PLTS Atap Tak Masuk RUPTL 2021-2030

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021).
5/10/2021, 16.19 WIB

Kementerian ESDM telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Namun rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap tak termasuk didalamnya.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Gatrik) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan bahwa PLTS atap bukan proyek yang dijalankan oleh produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP). Sebab, pembangunan PLTS atap bergantung pada permintaan konsumen.

"Satu bukan suatu proyek, siapa pelakunya IPP atau bukan, didalamnya bukan transaksi. PLTS atap itu tidak menjadi bagian RUPTL yang ada. Jadi gak ada," katada Rida dalam Webinar Diseminasi RUPTL PLN 2021-2030, Selasa (5/10).

Meski demikian keberadaan PLTS atap menurut Rida akan berpengaruh besar pada sistem jaringan milik PLN. Untuk itu, pemerintah telah melakukan pembicaraan dengan PLN agar nanti ketika pemasangan PLTS atap semakin masih tidak berpengaruh pada sistem.

"Kami antisipasi dan meningkatkan keandalan sistem jaringan termasuk di dalamnya kita sepakat menerapkan teknologi smart grid. Jawabannya gak ada. Jadi PLTS atap gak masuk," katanya.

Meski demikian, pemerintah telah merencanakan pengembangan PLTS atap secara masif, dengan target kapasitas total 3,6 gigawatt (GW). Jika terwujud, konsumsi batu bara nasional untuk pembangkitan listrik akan turun hingga 3 juta ton per tahun.

Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebut berdasarkan kajian, rencana pemerintah mengembangkan PLTS atap akan berdampak langsung terhadap konsumsi batu bara yang masih mendominasi bauran energi pembangkit listrik.

"Konsumsi batu bara akan berkurang 2,98 juta ton per tahun dan bisa menjadi tambahan untuk ekspor," kata Dadan kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.

Meski begitu, ia tak menampik pengembangan PLTS atap dengan kapasitas sebesar itu akan berdampak terhadap keuangan PLN, terutama pada sisi pendapatan. Menurut perhitungan, PLN berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp 5,7 triliun per tahun.

Meski demikian, pemerintah mengklaim pada akhirnya PLN akan diuntungkan dengan turunnya biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebesar Rp 12,61/kWh yang dapat mengurangi subsidi dan kompensasi listrik hingga sebesar Rp 3,6 triliun.

Selain itu pengembangan PLTS atap akan mendatangkan potensi investasi Rp 45-63 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04-4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor-impor.

"Pembangunan PLTS atap berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja. Mendorong green product sektor jasa dan industri, dan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 5,4 juta ton setara CO2," katanya.

Adapun Kementerian ESDM hingga Maret 2021 telah membangun 193 unit PLTS atap gedung. Sepanjang 2021-2030 pemerintah juga menargetkan pembangunan PLTS dengan kapasitas sebesar 5,432 megawatt (MW) untuk menurunkan emisi hingga 7,96 juta ton karbondioksida. Simak databoks berikut:

Reporter: Verda Nano Setiawan