Tak Terapkan Co-firing, PLTU Tanjung Jati Terkendala Masalah Teknologi
Salah satu upaya pemerintah dalam melakukan transisi energi dan menurunkan emisi karbon adalah melalui implementasi co-firing batu bara dengan biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun PLTU Tanjung Jati B di Jepara tak kunjung mengimplementasikan co-firing.
General Manager PT PLN Unit Induk Tanjung Jati B Hari Cahyono mengatakan bahwa implementasi co-firing di PLTU Tanjung Jati B terkendala teknologi dan minimnya pasokan bahan bakar biomassa. Teknologi boiler di PLTU tersebut hanya bisa digunakan untuk batu bara dengan kualitas 5.200-5.700 kcal per kg.
Menurut Hari, metode co-firing hanya bisa diterapkan pada boiler PLTU yang mengonsumsi batu bara kalori rendah di kisaran 4.000 kcal per kg hingga 4.200 kcal per kg, seperti milik PLTU Batang.
"Prioritas untuk PLTU mana yang kami implementasi co-firing adalah pembangkit-pembangkit yang menggunakan batu bara kalori rendah dan medium. Tetapi kami juga sudah melakukan uji coba (co-firing)," kata General Manager PT PLN Unit Induk Tanjung Jati B Hari Cahyono saat ditemui di lokasi pada Jumat (1/7).
Sebagai informasi, boiler adalah peralatan utama pada PLTU yang berfungsi mengubah air dari fasa cair menjadi fasa uap yang memiliki tekanan dan suhu tertentu untuk menggerakan turbin.
Metode co-firing diklaim dapat menurunkan emisi karbon karena mencampur batu bara dengan biomassa untuk pembangkit listrik. Ada beberapa macam bahan bisa dugunakan sebagai bahan campuran, seperti kepingan kayu, serbuk kayu, sampah, cangkang kelapa sawit hingga sekam padi.
Selain itu, Hadi menjelaskan bahwa PLTU Tanjung Jati B masih mencari ketersediaan feed stock yang menjamin rantai pasok bahan bakar biomassa. "Kalau kami hanya mengambil spot itu tidak berkelanjutan," sambungnya.
Guna menjamin ketersediaan pasokan biomassa, PLN bekerjsa sama dengan Perhutani untuk membangun Hutan Tanam Energi (HTE) yang diperuntukkan sebagai suplai kayu. Hari melanjutkan, hingga saat ini kontribusi co-firing menyumbang 1% dari pasokan listrik di Jawa-Bali.
"Kami baru uji coba dan sudah melakukan pembakaran dengan biomass tapi belum continue. Belum bisa dikatakan menggantikan batu bara berapa persen. Sekarang masih dalam penjakakan dalam sisi feed stock," ujar Hari.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko mengatakan pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) tidak memiliki wewenang untuk mengatur target dan capaian PLTU di dalam penerapan co-firing.
Menurutnya, lembaga yang berwenang mengatur target maupun capaian co-firing adalah Direktorat Jenderal Ketenagalistrikkan Kementerian ESDM. Adapun peran Pemprov Jawa Tengah hanya terbatas pada menjamin pasokan material biomassa untuk menjaga keberlangsungan co-firing.
Pada usulan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2023, pihak Dinas ESDM Jawa Tengah mengusulkan anggaran senilai Rp 11 miliar untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
"Kami tidak pasang target karena jika kami buat target akan menyusahkan mereka (PLTU Tanjung Jati B), karena sebagai perusahaan mereka pasti punya kebijakan sendiri. Tetapi kami juga memantau komitmen mereka," kata Sujarwanto.
Adapun pengawasan komitmen yang dilakukan oleh Pemprov Jawa Tengah yakni menjalin komunikasi dengan pemerintah kapubaten dan kota untuk memasok bahan bakar biomassa ke PLTU.
Sujarwanto menambahkan, saat ini pihak Pemerintah Kabupaten Jepara sudah mengajukan perencanaan untuk mendirikan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) atau pencacahan dan pengeringan sampah domestik untuk menjadi bahan bakar. "Jepara sudah mencapai tahap menbuat perencanaan untuk pendirian RDF," ujarnya.
Kontribusi Co-firing Turunkan Emisi Karbon Minim
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Service Reform (IESR), Marlistya Citraningrum menyebut metode co-firing tak berpengaruh terhadap penurunan emisi karbon yang dihasilkan dari proses kerja PLTU.
Dia menilai, selain pengurangan emisi yang tak terlalu signifikan, metode co-firing harus memperhitungkan sisi suplai bahan baku yang belum cocok dengan spesifikasi mesin PLTU dan harga yang belum ekonomis.
Citra juga menyoroti pola pikir yang bertujuan membangun Hutan Tanam Energi untuk menjamin ketersediaan pasokan biomassa. "Ini mereka nanti tanam pohon di hutan lalu menggunduli hutan, jadi malah bertentangan dengan aspek land use emission-nya," kata Citra saat dihubungi pada Senin (4/7).
Dia menegaskan, satu-satunya cara untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh PLTU adalah melakukan pensiun dini PLTU.
"Ganti dengan energi terbarukan. Paksa PLTU yang seharusnya umurnya 40 tahun, kita paksa pensiun di umur 15 sampai 20 tahun. Langsung disetop operasinya, supaya energi terbarukan bisa langsung masuk mengganti," kata Citra.
Citra mengakui bahwa upaya pemensiunan dini membutuhkan dana yang besar dan akan menimbulkan resistensi dari sejumlah pihak. Akan tetapi, ujar Citra, lembaga keuangan seperti Asian Development Bank (ADB) dengan mekanisme energy transition mechanism (ETM).
Dilansir dari laman ADB, ETM adalah pendekatan transformatif dengan cara pembiayaan gabungan yang berupaya mempercepat waktu penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada, kemudian menggantikannya dengan kapasitas pembangkitan listrik yang bersih.
Mekanisme ini terdiri atas dua pembiayaan: Pembiayan pertama dikhususkan untuk penutupan lebih dini atau pengalihan fungsi pembangkit listrik tenaga batu bara dengan jadwal yang dipercepat.
Sedangkan pembiayaan kedua berfokus pada investasi pada pembangkitan, penyimpanan, dan peningkatan jaringan listrik untuk energi bersih yang baru. "Sebenarnya banyak yang berminat untuk membiayai pemensiunan dini PLTU ya, yang belum disepakati adalah berapa harganya," tukas Citra.