Pertamina berupaya untuk menyesuaikan produk bisnis mereka sehubungan dengan meningkatkanya tren transisi energi global. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan Pertamina akan beralih dari perusahaan minyak dan gas (migas) menjadi perusahaan yang menjual produk energi baru terbarukan (EBT).
Nicke mengatakan, saat ini Pertamina melalui Pertamina Geothermal Energy (PGE) mulai memproduksi hidrogen hijau dari aset panas bumi yang mereka olah di sejumlah kilang yang mereka miliki.
"Kami mentransformasikan perusahaan minyak dan gas menuju energi baru dan terbarukan dan kami memiliki rencana untuk menghasilkan hidrogen hijau dari elektrolisis, baik dari surya atau air," kata Nicke dalam paparannya di Side Event G20: Sustainable Finance for Climate Transition Roundtable pada Kamis (14/7).
Nicke melanjutkan, program utama yang dicanangkan Pertamina untuk menuju transisi energi yakni produksi bahan bakar nabati atau bioenergi yang diawali dengan produksi Biosolar. Nicke mengklaim, produk tersebut bisa mengurangi emisi karbon 20 juta metrik ton per tahun.
"Produksi bahan bakar menggunakan minyak sawit di beberapa kilang di Plaju, Dumai, Cilacap dan juga di Balongan," sambung Nicke.
Guna meneruskan upaya transisi energi menjadi program jangka panjang dan berkelanjutan, Pertamina membutuhkan dana investasi sebesar US$ 15 miliar untuk jangka lima tahun ke depan. Dengan dana tersebut, Nicke berharap Pertamina bisa meningkatkan jumlah bauran energi yang diproduksi oleh Pertamina.
Dalam paparannya, Nicke menjelaskan, besaran produksi energi baru dan terbarukan pada tahun 2021 hanya menyumbang 1% dari total produksi energi yang dihasilkan perusahaan. Bauran energi tersebut akan didorong ke 17% dari total produksi energi yang dihasilkan pada 2030.
"Jadi ini target yang sangat ambisius, kami akan meningkatkan bauran rasio dalam produksi energi baru dan terbarukan," kata Nicke.
Namun langkah Pertamina untuk menjadi perusahaan yang memproduksi energi terbarukan tak mudah. Pasalnya saat ini tidak ada pasar untuk bahan bakar hijau di Indonesia. Pertamina memilih untuk mengekspor produk bahan bakar hijau ketimbang memasarkannya ke dalam negeri.
Hal tersebut dilakukan karena minimnya permintaan dan harga produk yang tinggi. Bahan bakar hijau yang dimaksud adalah Bio Avtur dan Pertamina Renewable Diesel (RD) yang diproduksi di Kilang Pertamina IV Cilacap.
Sekretaris Perusahaan Subholding Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Milla Suciyani, mengatakan terbatasnya industri hijau di tanah air menjadi pertimbangan Pertamina untuk menjual dua bahan bakar nabati itu ke pasar Eropa dan Asia.
"Karena harga produk masih tinggi dan permintaan di sektor industri hijau sangat terbatas, maka belum feasible untuk retail. Sebagai alternatif, maka dicoba pasar luar negeri yang memang demand-nya sudah terbentuk," kata Milla kepada Katadata.co.id Selasa (5/7).
Milla menambahkan, saat ini penggunaan bahan bakar hijau yang umum di pasar dalam negeri hanya Biodiesel 30 (B30) yang merupakan mandat pemerintah. Adapun Pertamina RD pernah digunakan untuk sumber energi genset saat ajang Jakarta E-Prix beberapa waktu lalu.
Saat ditanya perihal harga jual per liter dan negara mana saja yang menyatakan tertarik dengan Pertamina RD, Milla enggan menjawab. "Pertamina RD masih penjajakan ke beberapa industri hijau di Indonesia dan untuk Bio Avtur masih tahap pernah digunakan untuk uji terbang," sambung Milla.
Saat ini, bahan bakar hijau yang diproduksi Pertamina adalah Bio Avtur, Pertamina RD dan B30. Dua komoditas bahan bakar hijau itu nantinya akan dijual ke pasar dalam negeri jika ekosistem pasar sudah terbentuk. "Tidak khusus ekspor. Bio Avtur sampai saat ini masih ditargetkan untuk local market," ujar Milla.