Konversi Kendaraan Listrik Disebut Bisa Menghemat Biaya BBM hingga 90%

ANTARA FOTO/Agha Yuninda/wsj/tom.
Seorang pengemudi mengisi daya baterai mobil listriknya di SPKLU Gedung PLN Gambir, Jakarta, Rabu (13/0/2022).
10/8/2022, 14.49 WIB

PLN terus menggencarkan program konversi kendaraan BBM menjadi kendaraan listrik. Konversi ini dinilai bisa mengurangi beban negara akibat impor minyak sekaligus mengurangi emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo juga mengatakan bahwa dengan beralih menggunakan kendaraan listrik, masyarakat bisa memangkas pengeluaran untuk bahan bakar secara signifikan.

"Satu liter bensin setara dengan 1,2 kwh listrik dengan jarak tempuh yang sama. Satu liter bensin harganya Rp 12.000-15.000, sedangkan 1,2 kwh listrik hanya Rp 1.800. Ini pengurangan biaya yang luar biasa. Jakarta sampai Bali kalau pakai BBM bisa Rp 1,5 juta untuk mobil. Kalau mobil listrik hanya Rp 300.000," ujarnya dalam webinar bertajuk PLN Innovation and Competition in Electricity pada Rabu (10/8).

Sebagai gambaran, berdasarkan harga BBM yang berlaku saat ini di DKI Jakarta, dengan konversi ke kendaraan listrik maka pengguna Pertalite dapat menghemat pengeluaran untuk BBM hingga 76%, pengguna Pertamax 85,6%, pengguna Pertamax Turbo berhemat hampir 90%, dan pengguna Pertamina Dex berhemat 90,5%.

Selain itu, konversi kendaraan listrik juga bisa menurunkan emisi karbondioksida (CO2) kendaraan BBM. Darmawan menyebut 1 liter BBM menghasilkan emisi setara 2,4 kg CO2, sedangkan 1,2 kwh listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik batu bara, gas dan energi baru terbarukan diklaim hanya mengeluarkan 1.200 gram CO2.

"Konversi juga mengurangi emsi gas rumah kaca apabila kita bergeser dari energi BBM ke energi listrik," sambungnya.

Lebih lanjut, konversi dinilai bisa memperkuat ketahanan energi nasional. Dengan konsumsi BBM 1,5 juta barel per hari di tengah produksi yang masih berada di angka 630.000 barel per hari, pemerintah masih harus impor agar dapat menutup kekurangan konsunsi di dalam negeri.

"Dengan harga minyak US$ 100 per barel, maka impor minyak baik itu minyak mentah maupun BBM sekita US$ 25 miliar tahun. Itu dampaknya luar biasa bagi devisa dan berdampak pada pengurangan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total volume impor minyak nasional meningkat 14,07% menjadi 42,13 juta ton pada 2021. Sementara nilainya melonjak 79,07% menjadi US$ 25,53 miliar.

Rinciannya, volume impor minyak mentah meningkat 31,08% menjadi 13,78 juta ton dan impor minyak olahan (hasil minyak) naik 5,47% menjadi 21,93 juta ton pada tahun lalu. Sementara, nilai impor minyak mentah melonjak 107,78% menjadi US$ 7,05 miliar dan impor minyak olahan meningkat 73,71% menjadi US$ 14,39 miliar.

Impor minyak mentah Indonesia terbesar berasal dari Arab Saudi dengan volume mencapai 4,42 juta ton dan dari Nigeria seberat 3,91 juta ton. Sedangkan, impor minyak olahan terbesar berasal dari Singapura dengan volume 10,25 juta ton dan dari Malaysia seberat 5,17 juta ton.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan pemerintah bakal menargetkan 6 juta motor listrik mengaspal pada 2025. Dia menyebut, implementasi program dirasa mampu menghemat konsumsi BBM sekitar 13 juta barel per tahun atau setara Rp 16 triliun.

"Dan lebih penting lagi terjadi penurunan emisi CO2 sebesar 4 juta ton per tahun dan peningkatan konsumsi listrik sebesar 2,4 terra watt per tahunnya," ucap Rida.

Program konversi ini juga diharapkan bisa memberikan peluang tenaga kerja baru dengan hadirnya bengkel konversi dan meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) melalui pemanfaatkan energi listrik untuk perikanan, peternakan dan pertanian untuk masyarakat luas.

"Pemerintah terus mendorong program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk mewujudkan penggunaan energi yang lebih bersih," tukas Rida.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu