Pertamina mengharapkan bisnis hijau energi baru dan terbarukan (EBT) dapat memenuhi target pengurangan 26 juta ton emisi karbon CO2 pada 2060, lebih tinggi dari target pada 2030 sebesar 11 juta ton.
“Pertamina menargetkan kapasitas Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 60 GW dari solar, hidro, tenaga angin dan panas bumi, untuk dapat memenuhi pangsa pasar 15% pada 2060,” kata Presiden Direktur Pertamina Nicke Widyawati dalam diskusi panel di COP27 di Sharm El Sheikh, Mesir, Minggu (6/11).
Pertamina juga menargetkan untuk memiliki kapasitas produksi baterai hingga 80 GWh, dan penjualan 800.000 kendaraan listrik roda dua dengan stasiun pengisian 1,5 TWh pada 2060, serta peningkatan energi hidrogen dengan kapasitas optimal 3 metrik ton per tahun.
Melalui pengembangan kilang hijau, Pertamina berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas produksi biofuel dari saat ini 3.000 bph menjadi 200.000 bph pada 2060 dengan fokus pada hydrotreated vegetable oil (HVO) dan hydro-processed esters and fatty acid (HEFA).
“Kami juga menargetkan dapat memproduksi hingga 600.000 bph B30 dan A20 pada 2060,” kata Widyawati.
Melihat potensi Indonesia untuk penyimpan penangkapan karbon yang besar yang diperkirakan mencapai sekitar 80 gigaton hingga 400 gigaton C02, Pertamina mengincar potensi tersebut untuk menjadi bisnis baru migas.
“Dan mayoritas (penyimpanan penangkapan karbon) berada di darat, sehingga kami memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini,” pungkasnya.
Pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP27 Sharm El-Sheikh, Indonesia menyuarakan berbagai tindakan, strategi, inovasi dan pencapaian sebagai wujud nyata dari aksi iklim terdepan untuk mencegah peningkatan suhu global.
Melalui soft diplomacy, Paviliun Indonesia menampilkan kebijakan dan hasil nyata dari kerja sebelumnya, serta membuka jalan bagi ambisi iklim masa depan bersama dengan pihak-pihak terkait.
“Tindakan multilateral, kolektif, dan terpadu diperlukan sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi ancaman global yang nyata. Semangat kolaborasi harus kita pertahankan di COP27,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya dalam sambutannya pada pembukaan Paviliun Indonesia selama COP27 di Sharm El-Sheikh, Minggu.
Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah telah berbagi tanggung jawab perubahan iklim dengan akademisi, bisnis, organisasi masyarakat sipil, dan lainnya.
Namun, praktik mitigasi dan adaptasi perubahan iklim terkadang mengalami tantangan dan keterbatasan, seperti proses pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh politik serta perselisihan karena mengutamakan kepentingan sosial ekonomi dan lingkungan.
“Kadang-kadang ini menjadi paradoks, suatu bentuk ketidaksesuaian relevansi sosial, sehingga kebijakan kurang efektif menjadi tindakan. Oleh karena itu, aksi bersama perubahan iklim membutuhkan pemimpin untuk memandu tindakan,” kata Nurbaya.
Dengan mengusung tema “Stronger Climate Actions Together”, Pavilion Indonesia mencerminkan misi yang diemban oleh delegasi Indonesia untuk mengambil tindakan mendesak dalam memerangi perubahan iklim dan dampaknya, sebagaimana diamanatkan oleh tujuan nomor 13 Sustainable Development Goals (SDGs).