Dalam sistem perpajakan global, dikenal adanya pungutan pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final. Umumnya, skema ini diterapkan terhadap jenis penghasilan tertentu, dengan menggunakan mekanisme dan tarif khusus. Skema PPh final ini, juga diterapkan di Indonesia.
Dalam berbagai literatur pajak, ada beberapa istilah yang digunakan untuk merujuk PPh final, seperti final tax, final tax liability, atau final withholding tax. Namun, definisi PPh final sendiri masih terbatas, dan belum ditemukan pengertian secara memadai.
Seperti apa definisi yang pasti terkait PPf final dan apa tujuan diterapkannya skema ini dalam sistem perpajakan? Simak ulasan singkat berikut ini.
Definisi PPh Final
Mengutip ddtc.co.ic, ada dua institusi yang memberikan definisi secara jelas terkait PPh final, yakni Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD).
OECD mendefinisikan PPh final sebagai withholding tax yang didasarkan atas perjanjian pajak dan dikenakan oleh negara sumber dengan batasan tarif yang lebih rendah daripada tarif yang akan dikenakan dalam kondisi lainnya.
Sementara, IBFD mengartikan PPh final sebagai pungutan pajak yang bersifat final, yang digunakan untuk menggambarkan penghasilan yang dikenakan withholding tax dan tidak termasuk dalam penghitungan penghasilan yang dikenakan tarif pajak progresif.
Berdasarkan definisi yang disampaikan dua institusi tersebut, setidaknya terdapat enam poin yang dapat disimpulkan. Pertama, pajak final melekat dengan konteks PPh. Ini karena, IBFD menyebutkan klausul "penghasilan", dan OECD menyebutkan klausul "perjanjian penghindaran pajak berganda", yang secara tidak langsung berkaitan dengan PPh.
Kedua, pajak final melekat pada mekanisme withholding tax. Mekanisme ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memuat skema kewajiban untuk melakukan pemotongan, dan penyetoran pajak yang diserahkan kepada pihak ketiga.
Ketiga, perbedaan tarif pajak, karena penerapan PPh final berkaitan dengan tarif yang berlaku khusus. OECD menunjukannya melalui perbedaan tarif withholding tax antara yang tercantum dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, dengan yang berlaku secara umum.
Sementara, IBFD menyatakan tarif final berlaku secara khusus, dan berbeda dengan tarif umum, yang memberlakukan tarif progresif. Kedua definisi tersebut menunjukkan pajak final juga berkaitan dengan tarif pajak yang berlaku secara khusus.
Keempat, adanya pemisahan perlakuan pajak. IBFD secara implisit mendefinisikan PPh final sebagai pajak atas penghasilan yang tidak termasuk dalam penghitungan nilai pajak dalam sistem pembayaran yang berlaku umum.
Kelima, merepresentasikan nilai akhir sehingga pemotongan dan penyetoran tidak masuk dalam penghitungan pajak terutang. Keenam, berkaitan dengan pajak internasional.
Poin keterkaitan dengan pajak internasional ini, ditunjukkan dari definisi OECD mengenai PPh final yang dikaitkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda. Kemudian, IBFD juga menggunakan konteks pajak internasional dalam praktik pajak final.
Tujuan Penerapan PPh Final
Uraian yang spesifik mengenai tujuan penerapan PPh final dalam sistem perpajakan sulit ditemukan. Namun, jika dilihat dari tujuannya, salah satu tujuan utama penerapan skema PPh yang bersifat final adalah untuk menyederhanakan pengenaan PPh atas objek pajak tertentu.
Kesederhanaan PPh final ditunjukkan dari penghitungannya yang dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif. Sifat penerapannya yang sederhana tersebut, menyebabkan PPh final digunakan untuk memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak. Kemudahan administratif tersebut, dapat mengurangi biaya kepatuhan pajak.
Melihat tujuan tersebut, penerapan PPh final menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dua terobosan kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan, yaitu presumptive tax dan withholding tax.
Dalam presumptive tax, penerapan kebijakan PPh final bertujuan agar prosedur pengenaan pajak dapat berjalan sederhana. Selain itu, PPh final juga dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam upaya memaksimalkan produktivitas penerimaan dari segi administrasi.
Itulah sebabnya, negara seperti Indonesia memilih menerapkan presumptive tax secara final, untuk memungut pajak terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sementara dalam mekanisme withholding tax, PPh final digunakan sebagai cara untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri (SPLN).
Pengenaannya yang mudah dan sederhana secara administrasi, dianggap sesuai untuk memajaki SPLN yang memiliki karakteristik berbeda dengan subjek pajak dalam negeri (SPDN).
Selain itu, PPh final dengan skema withholding tax juga dianggap efektif dalam meningkatkan penerimaan negara. Skema ini juga dapat membantu pemerintah dalam pengelolaan anggaran karena cash flow yang masuk ke pemerintah lebih cepat diterima.