Utang Pajak, Pengertian, Konsekuensi, dan Opsi Penyelesaiannya

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.
Ilustrasi, petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Penulis: Agung Jatmiko
4/6/2024, 15.18 WIB

Dalam sistem perpajakan, dikenal istilah utang pajak, yang merujuk pada kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh wajib pajak. Kewajiban ini dapat timbul karena berbagai sebab.

Adanya kewajiban pajak ini memberikan konsekuensi tersendiri bagi individu atau badan usaha sebagai wajib pajak. Pasalnya, ada sejumlah sanksi administratif yang ditimpakan, bahkan bisa berujung penyitaan aset.

Perbedaannya dengan pajak terutang terletak pada kata "masih". Sebab, pajak terutang merupakan besaran pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengertian dan Penyebab Munculnya Utang Pajak

Dalam sistem perpajakan Indonesia, istilah "utang" mengacu pada pajak yang masih harus dibayar. Ini termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Definisi ini termaktub dalam Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.

Mengacu pada Pasal 4 ayat (2) PMK 61/2023, jenis-jenis utang pajak antara lain:

  • Pajak Penghasilan (PPh)
  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  • Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
  • Pajak Penjualan
  • Bea Meterai
  • Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan
  • Pajak karbon

Mengutip KlikPajak, utang pajak dapat muncul karena beberapa hal, antara lain adanya hasil pemeriksaan pajak yang membuktikan masih ada kewajiban yang harus dilunasi oleh wajib pajak. Kemudian, adanya keterlambatan pembayaran dan kesalahan penghitungan oleh wajib pajak, serta adanya sanksi administrasi pajak.

Konsekuensi Utang Pajak

Jika wajib pajak masih ada utang pada fiskus, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka akan menerima Surat Tagihan Pajak atau STP. Hal ini diatur dalam PMK Nomor 189 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.

Proses penagihannya terdiri dari beberapa proses, yakni sebagai berikut:

  • DJP mengirim surat dasar penagihan pajak.
  • DJP mengirim surat teguran apabila wajib pajak tidak ajukan angsuran/penundaan dan/atau tidak melunasinya hingga jatuh tempo.
  • Diterbitkan surat paksa jika surat teguran sudah lewat dari 21 hari.
  • Juru sita juga akan mengumumkan di media massa, pencegahan, dan penyanderaan, jika utang pajak belum juga dilunasi.
  • Diterbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) setelah Surat Paksa lewat dari 2x24 jam.
  • Dilakukan penyanderaan selama enam bulan dan dapat diperpanjang hingga enam bulan berikutnya.
  • DJP akan melakukan lelang apabila sudah melewati 14 hari sejak tanggal penyitaan.

Oleh karena itu, wajib pajak tentunya harus memahami ada dampak yang akan diterimanya apabila tidak melunasi utang pajak. Sebagai konsekuensinya, wajib pajak harus menanggung sejumlah sanksi denda dan bunga atas utang di bidang perpajakan pajak yang tidak dibayarkan.

Bahkan, beban utang pajak yang harus dilunasi dapat semakin memberatkan, karena berpotensi adanya penagihan melalui penyitaan aset dan penahanan rekening bank. Ujung-ujungnya jika tidak juga dibayarkan, wajib pajak bisa saja menanggung reputasi yang tercoreng hingga menghadapi sanksi pidana.

Opsi Pelunasan Utang Pajak

Mengacu pada Pasal 4 dan 140 PMK 61/2023, utang pajak dapat diselesaikan dengan cara sebagai berikut:

1. Melunasi

Wajib pajak dapat langsung menyelesaikan utang pajak dengan cara melunasinya sekaligus sesuai jumlah yang tertera pada surat tagihan pajak.

2. Mencicil

Wajib pajak juga dapat mengambil opsi atau pilihan membayar utang pajak dengan cara dicicil atau mengangsur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangsuran.

3. Menunda Pembayaran

Pilihan lainnya, wajib pajak dapat mengajukan penundaan pembayaran utang pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan penundaan pembayaran pajak.

4. Mengajukan Keberatan dan Banding

Penyelesaian adanya utang pajak juga dapat dilakukan dengan mengajukan keberatan dan banding atas surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh DJP.

5. Peninjauan Kembali dan Mengajukan Gugatan

Wajib pajak juga dapat mengajukan peninjauan kembali dan gugatan melalui pengadilan pajak terkait daluwarsa penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan.

Sebagai informasi, jika wajib pajak tidak juga melunasi utang pajak yang masih harus dibayar setelah lewat jatuh tempo pelunasan, maka akan dilakukan tindakan penagihan pajak.

Patut diketahui, selalu ada hal yang memang akan selalu menimbulkan utang di bidang perpajakan, meski DJP tidak menerbitkan surat ketetapan. Oleh karena itu, wajib pajak perlu memahami apa saja kondisi yang dapat menimbulkan utang pajak, serta membayarnya sesuai ketentuan tanpa harus menunggu terbitnya SKP.