Vaksin Covid-19 Tiba, Seberapa Tinggi Laju Harga Saham BUMN Farmasi?

/home/ubuntu/Pictures/antarafoto/cropping/production/original/ANT20190927097.jpg
Penulis: Ihya Ulum Aldin
8/12/2020, 15.26 WIB

Kedatangan vaksin Covid-19 produksi Sinovac ke Indonesia sebanyak 1,2 juta dosis pada Minggu (6/12), langsung mengerek harga saham-saham perusahaan farmasi di Bursa Efek Indonesia. Namun, efek vaksin terhadap harga saham tersebut diprediksi hanya menjadi sentimen sesaat.

Harga saham farmasi BUMN, PT Indofarma Tbk (INAF) misalnya, pada perdagangan sesi pertama Selasa (8/12) ditutup naik 21,16% menjadi Rp 5.125 per saham. Kenaikan ini meneruskan laju positif pada perdagangan kemarin, dimana meroket hingga 24,78% di harga Rp 4.230 per saham.

Harga saham farmasi pelat merah lainnya, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) juga tercatat ditutup naik hingga 18,51% ke Rp 5.250 per saham pada perdagangan sesi pertama hari ini. Kemarin pun, saham Kimia Farma ditutup naik signifikan 24,79% menjadi Rp 4.430 per saham.

Anak usaha Kimia Farma, PT Phapros Tbk (PEHA) juga bergerak naik 15,79% menjadi Rp 2.420 per saham pada perdagangan sesi pertama hari ini. Saham ini pun kemarin ditutup meroket hingga 24,78% menjadi Rp 2.090 per saham.

Sementara, dari sektor swasta, saham PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) juga bergerak naik 19,44% menyentuh harga Rp 1.720 per saham pada sesi pertama hari ini. Kenaikan harga saham distributor alat kesehatan ini, meneruskan laju positifnya kemarin yang ditutup naik 24,68% menjadi di harga Rp 1.440 per saham.

Sementara, saham perusahaan farmasi swasta yang juga sedang mengembangkan vaksin Covid-19, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), tidak mengalami perubahan harga pada sesi pertama hari ini, yaitu di harga Rp 1.485 per saham. Pada perdagangan kemarin pun, saham Kalbe Farma tidak ikut meroket seperti saham farmasi BUMN, meski naik 0,68%.

Harga Saham Farmasi BUMN Kemahalan

Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma menilai kenaikan signifikan saham-saham farmasi BUMN, khususnya Indofarma dan Kimia Farma, membuat harganya sudah masuk kategori premium. Ia mengatakan, investor perlu waspada karena risiko tinggi, harganya bisa jadi naik tinggi namun tidak menutup pintu malah rugi semakin besar.

"Kalau dua saham itu (Indofarma dan Kimia Farma) pergerakannya tidak mengikuti fundamental, tapi lebih kepada sentimen," kata Suria kepada Katadata.co.id, Senin (7/12).

Hal yang sama juga disampaikan Edwin Sebayang. Menurutnya, valuasi saham Indofarma dan Kimia Farma saat ini sudah terlalu mahal jika dibandingkan dengan kinerjanya. "Saham-saham BUMN itu sudah mahal banget, super mahal," kata Edwin.

Indofarma misalnya, hingga triwulan III 2020 masih mencatatkan rugi bersih senilai Rp 18,88 miliar, meski membaik dari periode sama tahun sebelumnya yang rugi hingga Rp 34,84 miliar. Sementara Kimia Farma memang mencatatkan laba Rp 37,19 miliar, tapi turun hingga 11,08% secara tahunan.

Kedatangan vaksin Covid-19 ke Indonesia, memang menjadi sentimen bagi emiten farmasi pelat merah, tapi hanya sentimen sesaat saja. Jika vaksin sudah sudah mulai didistribusikan dan merata, sentimen positifnya pindah ke sektor-sektor saham lainnya seperti infrastruktur, konstruksi, properti, semen, maupun perbankan.

Menurutnya, pelaku pasar akan mencari sektor-sektor yang memiliki prospek yang bisa bertumbuh lebih baik dengan kembali pulihnya perekonomian. Sementara setelah kondisi kembali pulih, vaksin Covid-19 dianggap sama seperti vaksin-vaksin penyakit lainnya yang sudah ada sebelumnya.

"Jadi pengaruh (kedatangan vaksin Covid-19) hanya short term. Sehingga emiten dari farmasi tersebut nanti menjadi ditinggalkan," kata Edwin.

Dia pun menyarankan investor menerapkan strategi trading jangka pendek pada kedua saham farmasi BUMN tersebut. Pelaku pasar saham, bisa memantau pergerakan kedua saham tersebut dalam 2-3 hari ke depan, untuk kemudian bisa mengambil untung.

"Jika sudah punya sahamnya, jangan disimpan karena ini sifatnya hanya sentimen. Strateginya harus trading, memanfaatkan euforia ini," kata Edwin.

Sementara Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan kondisi pasar saham secara umum masih didominasi oleh ekspektasi dan harapan. Keduanya membutuhkan asupan sentimen untuk menjaga kekuatannya ke depan.

"Bila tidak ada asupan yang menguatkan kedua hal tersebut, maka kekhawatiran akan melanda pasar yang akan membuat pasar takut untuk masuk ke dalam aset yang beresiko seperti saham," kata Nico dalam risetnya, Selasa (8/12).

Meski ada kehadiran kekuatan ekspektasi dan harapan dalam menopang pergerakan pasar, pada kenyataannya variabel ketidakpastian pasar belum hilang, yaitu virus corona. Karena dipengaruhi oleh sentimen, valuasi secara fundamental beberapa saham yang berada melebihi nilai proyeksi, dapat dikatakan sudah mahal.

"Atas dasar apa mahal? Vaksinnya kan belum hadir saat ini, tapi nanti akan hadir. Pemulihan ekonomi juga belum terjadi secara signifikan saat ini, tapi nanti perekonomian akan pulih," katanya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pelaku pasar jika ingin bertransaksi dengan menggunakan dasar sentimen. Nico mengatakan, pelaku pasar perlu mempertimbangkan sejauh mana sentimen ini bernilai pada saham. Sejauh mana sentimen memberikan dorongan efek terhadap saham, dan sejauh mana durasi waktu sentimen ini bertahan.

"Ini merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pelaku pasar dan investor saat ini dan dikombinasikan dengan jangka waktu investasi oleh masing-masing investor," kata Nico.