Harga saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) pada perdagangan Selasa (5/1) ditutup naik 3,9% menjadi Rp 1.600 per saham. Padahal, kemarin saham perusahaan pelat merah ini ditutup anjlok 6,95% menjadi Rp 1.540 per saham terimbas sentimen negatif dari sengketa pajak yang dihadapi perseroan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Menurut Analis Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas, kenaikan harga saham PGN disebabkan sinyal positif terhadap perusahaan. Masalah pajak tersebut bukan dilakukan secara sengaja oleh perusahaan. Apalagi, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberikan dukungan penuh terhadap PGN.
"Seharusnya kalau masalahnya sudah selesai, kenaikan harga menjadi wajar karena koreksi harga dinilai sudah waktunya akumulasi atau kesempatan beli," kata Sukarno kepada Katadata.co.id, Selasa (5/1).
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama berpendapat kenaikan harga saham PGAS hari ini memang wajar secara teknikal. Penurunan harga yang terjadi kemarin, telah membentuk pola doji star yang berpotensi membuat sahamnya naik. "Ada potensi stimulus beli pada pergerakan harga saham tersebut," ujarnya.
Selain itu, secara fundamental, PGAS memiliki potensi pertumbuhan kinerja pada tahun ini. Menurut Nafan, pendapatan perusahaan sepanjang 2020 diperkirakan mengalami penurunan sekitar 25%. Namun, tahun ini pendapatan PGAS diprediksi mampu tumbuh 19%.
Dia memperkirakan laba bersih PGAS pada 2020 bisa mengalami pertumbuhan 7,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, tren laba bersih tersebut diperkirakan terus berlanjut tahun ini dan diproyeksikan mampu tumbuh hingga 45% secara tahunan.
Sengketa Pajak PGN
Sengketa pajak yang tengah menjadi perkara hukum PGAS dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), merupakan transaksi pada tahun pajak 2012 dan 2013. Transaksi ini telah dilaporkan di dalam catatan laporan keuangan per 31 Desember 2017 dan seterusnya.
Pokok sengketanya antara lain, berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK 252 Tahun 2012 terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi. Ini terjadi pada transaksi di tahun pajak 2012.
Lalu, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan. Pada Juni 1998 PGAS menetapkan harga gas dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.
DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN. sementara PGN berpendapat harga dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang seharusnya tidak dikenai PPN.
"Atas sengketa di atas, DJP menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp 4,15 triliun untuk 24 masa pajak," kata manajemen PGN dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia yang diunggah 30 Desember 2020.
Selain itu, masih terdapat sengketa PGAS dengan DJP untuk jenis pajak lainnya periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 Miliar.
Sehubungan dengan putusan MA atas sengketa pajak dengan DJP dalam melaksanakan kegiatan usahanya yaitu penjualan gas bumi, PGAS merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Industri Minyak dan Gas Bumi dan peraturan di bidang perpajakan yang dalam hal ini adalah penjualan gas bumi melalui infrastruktur jaringan pipa yang tidak dikenai PPN sesuai Pasal 4A ayat 2 huruf a UU PPN.
"Selama ini PGN tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas bumi sesuai dengan peraturan tersebut," kata manajemen PGAS dalam siaran pers, Selasa (5/1).
Terkait hal tersebut dan potensi PGAS berkewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp 3,06 Triliun ditambah potensi denda. Manajemen PGAS tetap berupaya menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut.
PGAS akan mengajukan permohonan kepada DJP terkait penagihan pajak agar dilakukan setelah upaya hukum terakhir sesuai peraturan perundang-undangan. Sehingga PGAS dapat mengelola kondisi keuangan dan tetap dapat melaksanakan bisnis ke depannya dengan baik, termasuk menjalankan penugasan pemerintah.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, Kementerian BUMN selaku pengendali PGAS akan membicarakan kasus ini dengan Kementerian Keuangan. Arya mengatakan, sebelumnya Kementerian Keuangan sudah mengakui, objek yang dipermasalahkan ini, bukan merupakan objek pajak.
Langkah selanjutnya, Kementerian BUMN meminta PGAS untuk memperhatikan beberapa kasus yang mirip. Dengan dasar tersebut, maka PGAS akan melakukan langkah-langkah hukum. Misalnya melakukan langkah hukum peninjauan kembali karena sudah diakui bahwa ini bukan objek pajak.
"Kenapa bukan objek pajak? Karena selama ini PGN tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas tersebut. Kalau tadi misalnya PGN itu mengutip pajak dari konsumennya, tidak membayar kepada negara untuk pajaknya, mungkin PGN yang salah, " kata Arya kepada awak media, Senin (4/1).
Arya mengatakan, persoalan sengketa ini bukan soal lalai dalam membayar pajak, melain soal perbedaan asumsi terhadap objek. Kementerian BUMN optimis perkara ini tidak akan membuat PGAS rugi karena ada langkah-langkah yang dilakukan. "Kami yakin di Kemenkeu akan mendukung juga untuk hal ini," kata Arya.