Bursa Saham Global Rontok Imbas Kenaikan Suku Bunga The Fed

ANTARA FOTO/REUTERS/Brendan McDermid/WSJ/dj
Brendan McDermid/WSJ/ Fasad depan gedung Pasar Bursa Saham New York (NYSE) terlihat di Kota New York, Amerika Serikat, Senin (29/3/2021).
Penulis: Syahrizal Sidik
6/5/2022, 14.45 WIB

Bursa saham global pada perdagangan Jumat ini (6/4) kompak berguguran. Kejatuhan bursa saham global ini dipicu aksi jual investor menyusul pelemahan bursa saham utama di Amerika Serikat, Wall Street pada Kamis waktu setempat setelah The Federal Reserve (The Fed) mengerek suku bunga acuan.

Kamis kemarin, bursa Wall Street kompak anjlok, di mana pelemahan terbesar terjadi bursa Nasdaq yang melemah 4,99% terutama dipimpin oleh saham-saham perusahaan teknologi. Indeks S&P 500 juga anjlok 3,56% dan indeks Dow Jones terkoreksi 3,12% mengakhiri reli sebelumnya.

Bursa saham di Eropa juga melemah. Indeks FTSE 100 London turun 0,81% diikuti pelemahan indeks Xetra Dax, Frankfurt yang terkoreksi 1,24%. Pelemahan itu juga merembet ke bursa saham di kawasan Asia. Indeks Hang Seng anjlok 3,18%, diikuti Indeks Hang Seng Composite Index, Shanghai yang melemah 2,16% dan indeks Strait Times, Singapura yang terjerembab 1,54%.

Hanya indeks Nikkei Tokyo yang menguat 0,69% sedangkan perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru akan dibuka pada Senin, (9/5) mendatang usai Libur Lebaran.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ( Pixabay/Sergei Tokmakov Terms.Law)

 

Analis menilai, kejatuhan bursa saham global sebagai respons negatif investor dan meningkatnya kekhawatiran atas kebijakan bank sentral AS menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin ke kisaran 0,75%-1%, tertinggi dalam 22 tahun terakhir yang memicu aksi jual di pasar saham.

Kebijakan kenaikan suku bunga itu dilakukan untuk meredam tingkat inflasi di AS yang menyentuh level tertingginya dalam 40 tahun terakhir. The Fed juga masih memiliki ruang menaikkan suku bunga di masa mendatang.

"Kekhawatiran meningkat tentang bagaimana kenaikan suku bunga dan langkah-langkah The Fed untuk mengendalikannya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi," seperti dikutip dari BBC, Jumat (6/5).

Managing Partner di Kace Capital Advisors, Kenny Polcari juga menyebut, terdapat beberapa faktor yang memicu kekhawatiran pasar selain kebijakan moneter The Fed, yakni lonjakan inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga energi akibat perang di Ukraina.

Sementara itu, Gubernur The Fed, Jerome Powell meyakini, ekonomi AS masih cukup kuat untuk menangani dampak dari tingkat kenaikan suku bunga yang lebih tinggi kendati ada kekhawatiran investor kenaikan biaya hidup mulai memukul rumah tangga AS dan akan memperlambat konsumsi masyarakat.

Dalam beberapa pekan terakhir, perusahaan besar seperti Amazon telah memperingatkan mengenai perlambatan pertumbuhan. Angka pemerintah bulan ini menunjukkan ekonomi AS mengalami kontraksi sebesar 1,4% dalam tiga bulan pertama tahun ini.

"Peringatan penurunan ekonomi karena suku bunga naik AS membuat kenaikan suku bunga terbesar dalam 22 tahun," tulis BBC.

Selain AS, sejumlah bank sentral di dunia seperti India, Australia, Inggris juga turut mengerek suku bunga acuannya.