Selain persoalan pungutan, Lily menyebut adanya persoalan persaingan yang tidak sehat antar-perusahaan efek yang juga perlu segera ditangani oleh Dewan Komisioner OJK. Ia menduga, persaingan tak sehat menyebabkan tarif jasa komisi turun sehingga kinerja keuangan mayoritas perusahaan efek merosot. Dari hasil kajian APEI, sepanjang 2012-2014, sekitar 83 persen perusahaan efek mengalami kerugian dari pendapatan komisi murni.

Ia mengaku sudah mendiskusikan persoalan tarif komisi tersebut dengan OJK, namun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penetapan tarif minimum komisi sebagai tindakan yang melanggar aturan. "Padahal bukan untuk menetapkan minimum komisi, tetapi bagaimana tarif yang sehat antar-perusahaan efek," ujar Lily.

Selain itu, ia juga mengeluhkan soal aturan yang membatasi pembiayaan oleh perusahaan efek maksimal 25 persen dari modal disetor. Ia menyebut aturan tersebut diskriminatif. Hal lain yang juga dikeluhkan Lily adalah tentang besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk alokasi biaya bersama (joint cost alocation), khususnya dalam hal perpajakan. Soal yang terakhir, menurut Lily, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi telah mengakui adanya kesalahan penerapan aturan pajak di lapangan terkait hal ini.

Adapun hal lain yang disoroti Franciscus adalah terkait peran OJK. Menurut dia, Dewan Komisioner OJK harus mengerti perbedaan peran sebagai penguasa dan pengawas. Dia mencontohkan, proses pemilihan komisaris BEI oleh OJK. Padahal, BEI merupakan perseroan terbatas (PT). Pemilihan komisaris seharusnya melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

"Artinya, kekuasaan OJK itu mengikuti aturan dan Undang-Undang (UU) yang ada. Jangan dilanggar seperti apa yang berjalan hari ini, seperti BEI yang merupakan PT, punya pemegang saham tapi komisarisnya ditetapkan oleh OJK," ujar dia. (Baca juga: Calon Kuat Anggota OJK Berguguran, Pansel Soroti Soal Integritas)

Halaman: