Masih Danai Batu Bara, Komitmen Berkelanjutan Perbankan Dipertanyakan

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.
Suasana saat pekerja beraktivitas di tempat penumpukan sementara batu bara, Muarojambi, Jambi, Rabu (1/7/2020).
20/1/2022, 13.50 WIB

Perbankan nasional dinilai belum serius untuk menggarap pembiayaan berkelanjutan lantaran masih membiayai sektor yang berkaitan dengan batu bara, baik pertambangan maupun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Berdasarkan studi yang dirilis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), lebih dari 100 lembaga keuangan global memutuskan keluar dari pembiayaan proyek PLTU batu bara maupun pertambangan. Terbaru, Bank of China juga memutuskan untuk keluar dari bisnis ini.

Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo mengatakan tren ini juga diikuti oleh beberapa bank besar di Asia Tenggara, seperti Maybank dan CIMB. Namun keluarnya bank-bank besar dunia dari bisnis batu bara dan PLTU justru direspon oleh perbankan nasional sebagai peluang dan ceruk pasar baru yang dapat diisi.

"Misalnya waktu itu pernyataan publik dari perwakilan Bank Mandiri dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa ini kesempatan baru, ceruk pasar baru karena kompetitor makin sedikit," kata dia dalam diskusi Risiko Pembiayaan Batu Bara pada Industri Perbankan Nasional, Kamis (20/1).

Andri menilai desakan penghentian pendanaan untuk sektor batu bara bukan masalah sentimen memusuhi emas hitam ini sebagai komoditas. Namun lebih kepada bahwa batu bara adalah penyumbang utama emisi karbon dan gas rumah kaca global yang berkontribusi besar terhadap perubahan iklim.

"Perang melawan batu bara bukan hanya melawan batu baranya tapi berjuang kita lepas dari laju krisis iklim yang semakin lama semakin buruk," ujarnya.

Adapun upaya percepatan transisi energi untuk mengatasi krisis iklim harus menyasar sektor hulu-hilir batu bara yang harus diterjemahkan oleh lembaga finansial untuk coal phase out. Ini tidak semata untuk berhenti mendanai proyek PLTU, tetapi menyasar pada hulu pertambangan hingga produk turunan batu bara seperti gasifikasi.

Saat ini terdapat Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang tengah dalam proses perpanjangan izin dari pemerintah. Menurutnya jika perbankan nasional serius menerapkan praktik keuangan berkelanjutan, maka ranah bisnis tersebut tidak layak untuk dimasuki.

Namun beberapa perbankan nasional masih saja tetap mendukung bisnis batu bara yang sangat jelas menjadi penyumbang emisi terbesar di sektor energi. Salah satunya yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Pada Juli 2020 misalnya, BRI turut terlibat dalam pembiayaan PLTU Jawa 9 dan 10, yang berdasarkan pemodelan dampak kesehatan akan menyebabkan lebih dari 4.700 kematian dini selama masa PLTU tersebut beroperasi.

Kemudian pada April 2021, BRI juga terlibat dalam kredit sindikasi sebesar US$ 400 juta untuk perusahaan tambang batu bara raksasa yakni Adaro. Adaro sendiri memiliki cadangan batu bara sebesar 1,1 miliar ton dan berencana menggali seluruh cadangannya.

Sementara, berdasarkan laporan keberlanjutan BRI 2020, bank tersebut hanya menyalurkan kredit untuk sektor energi terbarukan sebesar Rp 14,6 triliun. Artinya bila dibandingkan dengan total kredit yang disalurkan berjumlah Rp 880,67 triliun, pembiayaan BRI ke energi terbarukan hanya 1,5%.

Padahal, menurut dia BRI merupakan salah satu bank anggota First Movers on Sustainable Banking. BRI dalam sustainable report menyatakan tidak memberikan pembiayaan kredit pada usaha yang merusak lingkungan. Namun menurutnya pernyataan tersebut bersifat abu-abu.

"Ini menjadi catatan, tambang dan PLTU banyak memberikan dampak kepada nelayan petani yang notabene adalah nasabah utama BRI di wilayah pedesaan dan di daerah. Ini cukup paradoks, dana yang dihimpun dari masyarakat secara tidak langsung dipakai untuk mendanai proyek proyek yang justru membahayakan keberlangsungan masyarakat yang ada di satu wilayah atau daerah.

Sementara, menurut Sisilia Nurmala Dewi dari Indonesia Team Leader 350.org menyangkan bahwa kondisi menurunnya pendanaan batu bara oleh lembaga keuangan internasional justru dilihat sebagai ceruk pasar baru perbankan nasional yang memiliki komitmen untuk semakin berkelanjutan.

Selain itu, dukungan beberapa bank BUMN untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia juga masih tergolong kecil. Bank BNI misalnya, pembiayaan untuk energi terbarukan tercatat hanya sebesar 1% dari total pembiayaan segmen corporate dan commercial banking.

Lalu, Bank Mandiri sebesar 0,7% dari total pembiayaan segmen Corporate dan Commercial Banking. Berikutya BRI yang hanya sebesar 1,5%. "Realisasinya ternyata jauh dari maksimal," katanya.

Reporter: Verda Nano Setiawan