Pemerintah dinilai perlu menurunkan tarif pajak penghasilan tahun ini dari 25 persen menjadi 18 persen. Tujuannya untuk meningkatkan daya saing industri nasional, terlebih di tengah pemerintahan Amerika Serikat yang mulai menjalankan reformasi perpajakan di negaranya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan sebenarnya pemerintah sudah menjanjikan penurunan tarif pajak setelah menjalankan program pengampunan pajak (tax amnesty). Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk merealisasikan janji tersebut. Apalagi Amerika Serikat (AS) juga sudah mulai menjalankan reformasi perpajakan.
Meski begitu, dia mengakui penurunan tarif pajak ini tidak bisa begitu saja dilakukan. Pemerintah harus masih harus menunggu pembahasan payung hukumnya, yakni Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (RUU PPh) selesai di DPR.
Menurutnya penurunan tarif pajak harus dilakukan secara bertahap, agar dampaknya tidak terlalu signifikan, mengingat basis pajak di Indonesia juga belum luas. "Mungkin 25 persen bisa ke 22 persen untuk dua tahun, lalu dievaluasi kalau berhasil baru ke 18 persen. Jadi dua step," kata dia kepada Katadata, Kamis (4/1).
(Baca: Tangkal Dampak Pemotongan Pajak di AS, Sri Mulyani Tinjau Tarif Pajak)
Dia menilai penurunan tarif ini tidak akan mengurangi potensi penerimaan negara. Idealnya penurunan tarif pajak berbanding lurus dengan peningkatan investasi dan turunnya potensi praktik penghindaran pajak. Peningkatan investasi bisa membuat basis pajak meluas, sehingga penerimaan negara naik.
Meski potensi penerimaan masih besar, Prastowo mengaku tidak sepakat dengan pertumbuhan penerimaan pajak yang ditargetkan pemerintah sebesar 24 persen menjadi Rp 1.423,9 triliun tahun ini. "Saya kira naiknya hanya 10-15 persen dari realisasi 2017. Kalau (target) tidak direvisi, kemungkinan tahun ini hanya (tercapai) di 89 persen lagi," ujar dia.
(Baca: Ekonom Menilai Target Pajak Tumbuh 24% di 2018 Ketinggian)
Kalangan pengusaha juga berharap agar pemerintah menurunkan tarif pajak. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani melihat ada risiko dari beberapa kebijakan Amerika Serikat (AS) seperti reformasi perpajakan dan normalisasi di sisi moneternya.
"Dengan kebijakan pajak AS yang baru ditakutkan akan menarik investor keluar dari Indonesia," kata dia.
Menurutnya, pemerintah seharusnya membuat sistem perpajakan yang kompetitif mulai dari besaran pajak, proses perhitungan, dan mekanisme pelaporan. Pengusaha memahami bahwa pemerintah membutuhkan dana yang luar biasa besar untuk pembangunan infrastruktur. "Kami selalu terbuka untuk berdiskusi dengan pemerintah untuk menemukan solusi terbaik," kata Shinta.
(Baca: Jokowi: Ekonomi di Tahun Politik Bisa Tumbuh Lebih Tinggi 0,3%)
Konsumsi politik seperti atribut kampanye dan lainnya dengan 170 daerah yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, akan berdampak besar bagi perekonomian tahun ini. Khususnya untuk industri yang terkait pilkada seperti tekstil, telekomunikasi, dan perdagangan besar akan mendapatkan manfaat dari Pilkada ini. Di Industri inilah pemerintah bisa menggenjot pajak tahun ini.
Meski begitu, Shinta menilai potensi ini belum tentu membuat penerimaan pajak 2018 bisa naik 24 persen seperti yang ditargetkan pemerintah. Dia juga memperkirakan pengusaha dan investor tidak akan 'jor-joran' berinvestasi di Pilkada tahun ini, karena berkaca pada pesta demokrasi di DKI Jakarta tahun lalu.