Boediono dan Penggalan Krisis Ekonomi Indonesia

KATADATA | Bernard Chaniago
Penulis: Desy Setyowati
15/8/2016, 16.14 WIB

Karena itu, pada 1967-1968 pemerintah menerapkan standar pengelolaan keuangan negara yang disebut prinsip keuangan negara berimbang.Setelah Orde Baru, pemerintah membatasi defisit anggaran sebesar tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang meniru kebijakan Uni Eropa.

Selain itu, pinjaman juga dibatasi maksimal 60 persen dari PDB. “Strategi yang terbaik, kita harus waspada terus. Kalau krisis terjadi, paling tidak kita punya bekal untuk merespons dengan baik,” ujarnya. (Baca: Lembaga Keuangan Dunia Ramai-ramai Pangkas Pertumbuhan Ekonomi). 

Kemudian, penyebab krisis menjadi sulit diprediksi ketika globalisasi meningkat. Pada 1997-1998, uang yang berputar di Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Korea Selatan menyusut. Hal itu terjadi ketika Thailand kesulitan membayar utang luar negeri (ULN). Sektor perbankan menjadi yang paling terpukul.

krisis-1997-vs-2008.jpg (KATADATA)

Menurut Boediono, yang terjadi ketika itu, Indonesia belum punya pengalaman menangani hantaman ekonomi semacam ini. Sebelumnya, krisis dikarenakan faktor domestik yang jauh lebih mudah menyelesaikannya. Di tengah kondisi tersebut, pemerintah menutup 16 bank kecil yang asetnya hanya 40 persen dari total perbankan Indonesia.

Sayangnya, hal yang tak diprediksi adalah dampak psikologis nasabah, yang kemudian menarik dana dari bank yang diangap bermasalah. Akibanya, likuiditas di beberapa bank lainnya juga mengering. Pada saat itu, pemerintah tak buru-buru memberikan jaminan penuh atau blanket guarantee, kebijakan yang baru diambil dua bulan setelahnya.

Strategi yang terbaik, kita harus waspada terus. Kalau itu terjadi, paling tidak kita punya bekal untuk merespons dengan baik."

Lalu, lain lagi pada 2007-2008 ketika Indonesia ikut dilanda krisis keuangan global yang skalanya jauh lebih besar, yang lebih dahulu menyerang negara maju. Untuk menangani krisi ini, pada 2007, pemerintah Amerika Serikat sampai memberikan bantuan langsung (bail out) kepada beberapa institusi keuangan, kecuali Lehman Brothers.

Awalnya, keputusan Negeri Paman Sam itu dinilai aman bagi Indonesia. Namun setahun kemudian, Lehman Brothers bangkrut sehingga menyedot likuditas di banyak negara, termasuk Indonesia. (Baca: Tiga Pilihan The Fed Hadapi Resesi).

Oleh karena itu, pelajaran dari krisis keuangan ini adalah langkah pertama yang responsif. Sebab, saat ini krisis menjadi lebih sulit diprediksi. “First responsif, pikir dengan benar dan seaman mungkin. Kesalahan kecil di awal bisa besar dampaknya dan fatal,” ujar Boediono.

Halaman: