Pemerintah Utang ke Pertamina dan PLN Rp 109 Triliun

Youtube/Komisi XI DPR
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah tidak menaikkan harga BBM dan tarif listrik meski harga minyak dunia dan komoditas melonjak demi menjaga daya beli masyarakat.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
28/3/2022, 20.31 WIB

Pemerintah memiliki utang kepada PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara mencapai Rp 109 triliun. Utang ini merupakan kewajiban pembayaran kompensasi atas penyelenggaraan subsidi energi hingga akhir tahun lalu.  

"Inilah yang disebut shock absorber. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengambil seluruh shock yang berasal dari kenaikan harga minyak dan biaya penyediaan listrik," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA edisi Maret, Selasa (28/3)

Adapun utang kompensasi tersebut terdiri atas sisa kewajiban tahun 2020 sebesar Rp 15,9 triliun. Nilai tersebut berasal dari kompensasi harga jual eceran bahan bakar minyak atau HJE BBM kepada Pertamina. Kewajiban pembayaran kompensasi pada 2020 sebenarnya mencapai Rp 63,8 triliun tetapi sebagian besar sudah dilunasi pada tahun lalu.

Selain itu, pemerintah juga memiliki sisa kewajiban kompensasi untuk tahun 2021 sebesar Rp 93,1 triliun. Ini terdiri atas kompensasi HJE BBM kepada Pertamina sebesar Rp 68,5 triliun dan kompensasi tarif listrik ke PLN sebesar Rp 24,6 triliun.

Sri Mulyani menyebut lonjakan pada nilai kompensasi energi tersebut mengindikasikan bahwa APBN saat ini mulai menghadapi tekanan baru yakni pembengkakan belanja untuk subsidi. Belanja APBN sebelumnya banyak untuk kebutuhan kesehatan, kini beralih untuk menahan kenaikan harga-harga sejumlah kebutuhan masyarakat.

"Karena tidak melakukan perubahan harga BBM dan tarif listrik, maka kami harus bayar kompensasi ke PLN dan Pertamina," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah tidak menaikkan harga BBM dan tarif listrik meski harga minyak dunia dan komoditas melonjak  demi menjaga daya beli masyarakat. Kebijakan ini kemungkinan akan berlanjut pada tahun ini. 

"Fungsi APBN sebagai shock absorber  masih akan berlangsung pada 2022. Dalam tiga bulan pertama tahun ini belum ada perubahan harga, sehingga ini akan menyebabkan kenaikan tagihan kompensasi yang akan diperhitungkan," kata Sri Mulyani.

Kementerian Keuangan mencatat, realisasi belanja subsidi energi pemerintah dalam dua bulan pertama tahun ini mencapai Rp 21,65 triliun. Namun, hampir separuh dari realisasi belanja tersebut merupakan pembayaran tagihan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 10,17 triliun. Sementara realisasi subsidi reguler sebesar Rp 11,48 triliun.

Di samping karena kenaikan harga komoditas, kenaikan pada realisasi subsidi energi awal tahun ini terjadi seiring meningkatnya aktivitas masyarakat yang mendorong konsumsi energi.  Realisasi subsidi energi dalam dua bulan pertama ini, mencakup 1,39 juta kilo liter BBM, 632 juta Kg LPG 3 Kg dan subsidi kepada 38,2 juta pelanggan listrik.

Reporter: Abdul Azis Said