Kronologi Utang Negara Rp 800 M ke Jusuf Hamka dan Direspon Mahfud MD

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (kanan) bersama Pengusaha Jusuf Hamka (kiri) memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (13/6/2023).
15/12/2023, 14.33 WIB

Masalah utang negara kepada pengusaha Jusuf Hamka masih berlarut-larut hingga saat ini. Bos PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) ini, beberapa kali bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud MD agar uangnya Rp 800 miliar bisa segera kembali.

Keduanya membahas masalah ini di kantor Menko Polhukam, pada Rabu (13/12). Sebelumnya, Mahfud mengundang Jusuf ke kantonya pada Juni 2023 lalu untuk meminta konfirmasi serta dokumen terkait. Setelah melalui pembahasan panjang, Mahfud MD akhirnya meminta Kementerian Keuangan untuk segera berunding dan membayar utang tersebut.

"Saya sudah katakan, Kemenkeu wajib membayar jumlahnya. Dibicarakan lagi, dan tentu dibicarakan lagi kedua belah pihak, supaya bisa mengajukan usul," kata Mahfud dikutip dari Tempo.co.id, Jumat (15/12).

Mahfud juga menegaskan, bahwa utang negara wajib dibayar agar tidak rugi. Jika tidak, maka bunga utang akan terus bertambah sesuai putusan pengadilan.

Pada kesempatan berbeda, Jusuf menyampaikan, bahwa pemerintah hanya mau membayar utang pokok senilai Rp 78 miliar. Artinya, pemerintah tak mau bayar bunga maupun denda utang tersebut.

"Mundur lagi [pembayaran utangnya]. Kan sudah ada kesepakatan Rp 179 miliar waktu itu. Kemudian dibatalkan keputusan itu, karena ada dendanya. Sekarang malah mau kembali ke angka pokok Rp 78 miliar," ujar Jusuf.

Jusuf Hamka mengaku keberatan dengan usulan tersebut. Sebab, sebelumnya negara menyepakati pembayaran utang Rp 179 miliar dengan rincian denda 37,5% dan pokok Rp 78 miliar.

Kronologi Utang Negara ke Jusuf Hamka

Kasus ini bermula saat krisis moneter 1997-1998. Saat itu, perusahaan jalan tol milik Jusuf, CMNP menyimpan dana deposito senilai Rp 78,84 miliar dan giro di Bank Yakin Makmur (Yama).

Namun akibat krisis moneter 1998, Bank Yama terpaksa dilikuidasi atau ditutup. Pemerintah kemudian merilis Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) agar bank tetap bisa membayar kewajibannya kepada nasabah.

Namun, pemerintah menilai Bank Yama dan CMNP memiliki hubungan afilisasi, sehingga ketentuan deposito CMNP tidak mendapat penjaminan dari pemerintah.

Tak kunjung dapat kejelasan, Jusuf kemudian menggugat pemerintah ke pengadalian pada 2012. Hasilnya, CMNP menang dan pengadilan memutuskan agar pemerintah membayar deposito itu termasuk dengan bunganya.

Namun, hingga tiga tahun kemudian, kata Jusuf, pemerintah tak kunjung memenuhi kewajibannya. Padahal, total kewajiban pemerintah sudah mencapai Rp 400 miliar pada 2015.

Jusuf lalu bersurat ke Kemenkeu dan akhirnya bisa bertemu langsung. Dari penjelasannya, Kemenkeu saat itu sempat meminta diskon dan ia menyetujinya. Sehingga total kewajiban yang disepakati Rp 170 miliar dan Kemenkeu berjanji akan membayarnya dalam dua minggu.

"Setelah dua minggu tandatangan perjanjian katanya kita akan dibayar, ternyata sampai hari ini kita nggak dibayar. Jadi kalau sampai hari ini mungkin uangnya sudah sampai Rp 800 miliar," ujar Jusuf, kepada Katadata.co.id, Juni 2023 lalu.

Ia sempat bertemu langsung dengan beberapa pejabat negara mulai dari Sri Mulyani hingga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk meminta kejelasan. Namun tak mendapatkan respon yang memuaskan.

"Saya cuma minta belas kasihan dengan pemerintah. Kalau memang sebagai warga negara dan sebagai wajib pajak yang baik tolonglah kita diperhatikan," ujarnya.

Kemenkeu Buka Suara

Juru Bicara Kemenkeu Yustinus Prastowo membeberkan alasan deposito CMNP di Bank Yama tidak mendapatkan penjaminan pemerintah, karena pemilik CMNP dan Bank Yama adalah orang yang sama, yakni Siti Hardianti Rukmana atau Mbak Tutut yang merupakan anak Presiden Soeharto.

Karena afiliasi tersebut, maka permohonan pengembalian dana ditolak oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Padahal, kata dia, CMNP saat ini tak menerima putusan dari BPPN.

Oleh karena itu, tak heran jika perusahaan kemudian menggugat ke pengadilan dan putusannya menghukum pemerintah mengembalikan deposito.

"Meskipun demikian, pembayaran deposito tersebut bukan disebabkan negara punya kewajiban kontraktual kepada CMNP. Hakim berpendapat bahwa negara bertanggung jawab atas gagalnya Bank Yama mengembalikan deposito CMNP," kata Prastowo dalam keterangannya.

Ia menyebut, permohonan pembayaran sudah direspons oleh Biro Advokasi Kemenkeu kepada para pengacara yang telah ditunjuk oleh CMNP maupun kepada pihak-pihak lain yang mengatasnamakan CMNP.

Namun pembayaran tidak bisa dilaksanakan saat itu juga. Ia beralasan, pengembalian dana akan mengakibatkan beban negara bertambah sehingga pelaksannya harus memenuhi mekanisme pengelolaan keuangan negara sesuai undang-undang.

"Perlu terlebih dahulu dilakukan penelitian baik dari sisi kemampuan keuangan negara dalam rangka menjaga kepentingan publik yang perlu dibiayai negara maupun penelitian untuk memastikan pengeluaran beban anggaran telah memenuhi ketentuan pengelolaan keuangan Negara," kata Prastowo.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari