Rencana pemerintah untuk membentuk family office di Indonesia dinilai tidak mudah. Sebab, Indonesia harus bersaing dengan Singapura dan Hong Kong yang sudah dikenal sebagai pusat keuangan dunia dan memiliki banyak family office.
Tak mau kalah dari dua negara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk tim khusus untuk mengkaji skema investasi family office di Indonesia. Tim ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut menyebut dua daerah yang berpotensi menjadi lokasi pendirian family office di Indonesia, yaitu Bali dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah (PR) yang perlu dibenahi untuk membangun family office di Indonesia.
Menurut Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda, banyak hal yang harus dibenahi jika ingin menjadikan Bali sebagai pusat finansial seperti Hong Kong ataupun Singapura.
Pertama, pemerintah Bali harus punya kewenangan tersendiri dalam mengelola sistem keuangannya. Jadi uang yang ditempatkan di Bali secara khusus tidak dikenakan aturan yang sama dengan tempat lain.
"Tantangannya di peraturan yang harus disesuaikan, terutama aturan mengenai family office yang didengungkan oleh Pak Luhut. Saya harapkan bukan hanya orang menaruh uang di Bali," kata Nailul kepada Katadata.co.id, Selasa (2/7).
Kedua, terkait dengan aturan keuangan di Indonesia juga dinilai belum siap untuk menjalankan family office dalam hal pengelolaan keuangan dan peruntukan modal tersebut.
Dia khawatir skema pengelolaan investasi ini berbentuk pengampunan pajak atau amnesty pajak dan dananya tidak disalurkan untuk sektor rill. Tapi hanya mengendap diperbankan. Hal ini berakibat biaya modal (ICOR) semakin tinggi.
"Saya belum mengetahui proses intermediasi dana di family office apakah ke sektor riil? Saya harap, jangan hanya menaruh uang tanpa pajak saja, karena tidak berguna bagi ekonomi kita," ucapnya.
Perlu Insentif Pajak
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai potensi pengelolaan dana dari family office sangat besar. Namun Indonesia harus dapat bersaing dengan Singapura dan Hong Kong sebagai negara tujuan pengelolaan dana investasi tersebut.
Sehingga, kata Josua, pemerintah harus menyediakan berbagai insentif demi menarik dana tersebut, terutama insentif pajak. Hal ini juga perlu dibarengi dengan regulasi dan kepastian hukum, khususnya terkait hak kepemilikan aset orang kaya tersebut.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga menyoroti persaingan yang relatif ketat terkait ketentuan pajak dan variasi instrumen investasi yang ditawarkan. "Selain itu juga harus ada aturan dan undang-undangnya dulu [yang mengatur family office]," kata David.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch Amin Nurdin melihat seberapa besar kecilnya potensi family office ini, bergantung pada tawaran yang diberikan pemerintah ke investor baik itu insentif maupun imbal hasil investasi.
"Kemudian uangnya dilarikan kemana, ke sektor apa saja, apakah akan ke aset produktif. Jadi tidak hanya sekadar menjalankan fungsinya seperti bank umum, atau lembaga penyimpanan dan lembaga investasi lain," ujar Amin.
Jika family office benar-benar digarap pemerintah, maka perlu aturan yang jelas. Sehingga, menurut Amin, kebijakan baru ini harus mengatur tata kelola investasi, skema bagi hasil serta bagaimana family office tetap tumbuh berkelanjutan.
Jumlah Orang Super Kaya Naik
Josua melihat potensi pengelolaan dana family office relatif besar. Hal ini mengacu pada laporan Wealth Report dari Knight Frank terkait jumlah orang super kaya dengan aset di atas US$ 30 juta di dunia.
"Berdasarkan laporan itu, jumlah orang super kaya mencapai 626.619 orang pada 2023, naik dari 601.300 dari tahun sebelumnya," kata Josua.
Josua menyebut Asia menjadi negara yang memiliki jumlah orang super kaya terbesar ke-2 setelah Amerika sebanyak 165.442 orang pada 2023. Bahkan, pertumbuhan orang super kaya di Asia bisa mencapai 228.849 orang pada 2028.
Jumlah itu meningkat hingga 38,3%, yang artinya potensi dana dari pengelolaan kekayaan orang super kaya ini sangat besar. Sehingga Josua melihat prospek pertumbuhan yang relatif baik dari family office ini.
"Hal ini sejalan dengan transformasi struktural di Indonesia, sehingga secara fundamental Indonesia merupakan salah satu tujuan investasi yang berpotensi menguntungkan," ujarnya.
Seperti diketahui, family office adalah perusahaan swasta yang dirancang untuk mengurus dan mengelola kekayaan individu atau keluarga konglomerat. Biasanya, klien family office ini memiliki kekayaan lebih dari US$ 50 juta - US$ 100 juta.
Family office menyediakan solusi keuangan secara menyeluruh mulai dari manajemen investasi, perencanaan keuangan, perencanaan pajak, asuransi, pengelolaan aset properti, kegiatan amal dan lainnya.