Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memaparkan beberapa dampak tekanan ekonomi Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian Indonesia.
Pertama adalah adanya peningkatan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Bhima menilai, jika indikator resesi menguat, maka akan ada ketidakjelasan arah suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed.
Akibatnya, pelaku pasar atau investor akan mengalihkan investasi ke safe haven atau aset yang tetap stabil dan aman di tengah ketidakpastian ekonomi global.
"(Maka para investor bisa beralih) ke safe haven-nya bisa beragam, bisa emas, bisa kemudian dolar AS dalam jangka menengah,” ujarnya dalam Biweekly Brief CELIOS yang diadakan secara virtual, Jakarta, Senin (6/8).
Implikasi kedua ialah cadangan devisa Indonesia bisa turun akibat pelemahan permintaan ekspor ke AS. Kendati memang ekspor Indonesia ke AS tidak sebesar ke Cina, tetapi bahan baku atau barang setengah jadi yang dikirim ke Cina juga akan diolah dan berakhir di pasar AS.
Artinya, jika permintaan domestik AS melemah, tentu memberikan efek terhadap kinerja ekspor Tanah Air. Hal ini akan memengaruhi neraca perdagangan dan cadangan devisa Indonesia.
Efek selanjutnya adalah suku bunga AS yang masih tinggi bakal mencegah dana asing keluar, terutama dari pasar surat berharga. Jikakalau The Fed memangkas suku bubunga 25 basis points (bps), itu belum tentu diikuti pemotongan lebih besar ke depannya.
Dalam arti lain, suku bunga yang tinggi ke depan masih tetapi diperlukan untuk menjaga nilai tukar rupiah atau menahan aliran modal keluar (capital outflow) tetap di dalam negeri dengan iming-iming imbal hasil surat utang masih menarik.
“Banyak pelaku usaha yang mengandalkan pinjaman, terutama pinjaman dalam bentuk domestik, ini menjadi sangat berat bagi mereka," kata Bhima.
Kemudian tekanan dari sisi pemerintah, mereka membutuhkan dana asing untuk membeli surat utang pemerintah, meskipun porsi dana asing di Surat Berharga Negara (SBN) semakin kecil, tetapi SBN ini masih tetap membutuhkan aliran modal dari luar.
Adanya resesi ekonomi AS yang berdampak terhadap minat investor membeli surat utang pemerintah, maka akan membuat pemerintah sulit mencari pembiayaan baru pada tahun 2025.
Kemudian pemerintah akan sulit menutup defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2024, dan pembayaran utang jatuh tempo juga bisa makin besar pada tahun depan. “Ini jadi punya implikasi resesi terhadap kesulitan pemerintah untuk mengakses pembiayaan yang murah,”katanya.
Tanggapan Goldman Sachs
Ekonom Goldman Sachs Group melihat kemungkinan resesi AS pada 2025 meningkat menjadi 25% dari sebelumnya 15%. Namun masih ada kemungkinan resesi tidak terjadi meski angka pengangguran melonjak. "Kami terus melihat risiko resesi terbatas," kata ekonom Goldman yang dipimpin Jan Hatzius dikutip dari The Straits News, Selasa (6/8).
Goldman Sachs Group meyakinkan perekonomian AS masih baik secara keseluruhan. Sebab, tidak ada masalah ketidakseimbangan keuangan yang besar dan The Fed memiliki banyak ruang untuk memangkas suku bunga lebih cepat jika diperlukan.
Para ekonom Goldman Sachs memperkirakan, pertumbuhan lapangan kerja AS akan mulai pulih pada Agustus 2024 dan pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) akan menilai untuk pemangkasan suku bunga AS sebesar 25 basis poin.
Apalagi, laporan ketenagakerjaan AS pada Agustus 2024 diperkirakan bakal masih melemah dari sebelumnya. Sehingga, potensi pemotongan suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin bakal terjadi pada September 2024.
Para ekonom cukup skeptis pasar tenaga kerja AS akan memburuk dengan cepat. Hal itu dikarenakan jumlah lowongan pekerjaan AS menunjukkan permintaan tetap solid dan tidak ada guncangan nyata yang memicu penurunan.