Penerimaan Bea Cukai melonjak 3,1% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 154,4 triliun pada Juli 2024. Dari jumlah itu, penerimaan cukai mencapai Rp 116,1 triliun berkat lonjakan produksi cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Encep Dudi Ginanjar mengatakan, kontribusi penerimaan Bea Cukai berasal dari bea masuk, bea keluar, dan cukai.
"Penerimaan bea masuk mencapai Rp 29 triliun atau naik 2,1% yoy, yang didorong penguatan kurs dolar Amerika Serikat (AS) dan pertumbuhan nilai impor," kata Encep dalam keterangan resmi, Kamis (15/8).
Kemudian, bea keluar mencapai Rp 9,3 triliun atau naik 58,1% yoy karena faktor kebijakan relaksasi ekspor komoditas tembaga. Kenaikan juga terjadi di sektor cukai mencapai Rp 116,1 triliun atau naik 0,5% yoy karena adanya kenaikan produksi utama hasil tembakau (HT) Gol II dan III.
"Kemudian karena ada kenaikan tarif dan produksi Minuman yang Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dalam negeri serta relaksasi penundaan pelunasan pita cukai," ujarnya.
Selain itu, kinerja fasilitasi dan kinerja pengawasan Bea Cukai hingga Juli 2024 juga menunjukkan hasil positif. Kinerja fasilitasi termasuk pemberian insentif kepabeanan mencapai Rp 20,6 triliun atau tumbuh 19,1% yoy.
Fasilitas kawasan berikat dan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) juga memberikan dampak terhadap nilai ekonomi berupa ekspor sebesar US$ 53,8 miliar dan nilai investasi US$ 2.045,2 juta.
Kinerja pengawasan pun menunjukkan peningkatan jumlah penindakan yang mencapai 21.707 kasus, dengan komoditas utama berupa hasil tembakau, minuman mengandung etil alkohol (MMEA), narkotika, psikotropika, dan prekusor (NPP), tekstil, dan besi baja.
“Capaian positif Bea Cukai dari seluruh sektor tidak lepas dari kontribusi masyarakat. Kami pun akan terus mengoptimalkan kinerja untuk tumbuh positif, sehingga mendorong APBN dalam menjadi motor penggerak stabilitas ekonomi nasional," kata Encep.
Pendapatan Negara pada Juli 2024
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merinci, pendapatan negara hingga Juli 2024 menyentuh angka Rp 1.545,4 triliun atau 55,1% dari target, sedangkan belanja negara telah mencapai Rp 1.638,8 triliun atau 49,3% dari pagu.
Meskipun terdapat defisit APBN senilai Rp 93,4 triliun, tetapi kondisi ekonomi masih mampu beradaptasi, dengan tumbuh solid di angka 5,05% yoy pada triwulan II tahun 2024.
“Kinerja belanja APBN terus berfokus dalam memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, antara lain melalui pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, insfrastruktur, perlindungan sosial, energi, pertanian dan UMKM,” kata Sri Mulyani.