Satu dekade masa pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai mewariskan sejumlah masalah fiskal yang berat untuk kabinet baru yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto dalam sebulan lagi.
Berdasarkan laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios), terdapat sepuluh masalah fiskal utama yang dihadapi Indonesia selama pemerintahan Jokowi.
“Kebijakan fiskal selama satu dekade terakhir tidak menunjukkan perbaikan yang substansial dalam memperkuat basis ekonomi nasional," kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar, Kamis (12/9).
Padahal, menurut Media, pemahaman mendalam terhadap kondisi ekonomi makro saat ini menjadi dasar penting. Khususnya dalam membangun kerangka fiskal yang lebih responsif.
Akibatnya, Jokowi mewariskan kondisi anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN yang sangat berat. “APBN kita tidak mewah. jadi Jokowi tidak hanya mewariskan anaknya tetapi juga kekacauan yang luar biasa dalam tata kelola fiskal di Indonesia,” ujar Media.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira juga menilai masalah fiskal selama kepemimpinan Jokowi bakal menjadi beban berat pada pemerintahan Prabowo. Terutama jika melihat dari lonjakan utang jatuh tempo pada 2025 hingga 2029.
“Masalah beban utang ini akan menjadi salah satu perhatian terbesar dari pemerintahan, karena mau bergerak ke program apapun, berpotensi akan memangkas anggaran dari manapun,” kata Bhima.
Berikut 10 Warisan Masalah Fiskal Era Jokowi:
1. Pertumbuhan Ekonomi Stagnan
Celios mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan pada level 5%. Pertumbuhan ekonomi tertinggi Indonesia dalam satu dekade terakhir hanya terjadi pada 2022 mencapai 5,3% dan terendah pada 2020 minus 2,1%.
2. Defisit APBN Makin Lebar
Dalam RAPBN 2025, pemerintah menetapkan defisit anggaran dari Rp 226,69 triliun menjadi Rp 616,19 triliun. Hal ini menunjukkan defisit fiskal semakin melebar pada tahun depan.
3. Rasio Utang Meningkat
Celios mengungkapkan rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto atau PDB melojak 58,42% dari 24,7% pada 2014 menjadi 39,13% pada 2023.
4. Rasio Pajak Turun
Rasio pajak terhadap PDB anjlok dari 13,7% pada 2014 menjadi 10,1% pada 2024. Rasio pajak adalah perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap PDB.
5. Pembiayaan Investasi Lebih Rendah dari Pembiayaan Utang
Celios mencatat pembiayaan investasi pada 2014 hingga 2014 kurang dari 17,5%. Sementara pembiayaan utang lebih dari 74% selama 10 tahun terakhir.
6. Pertumbuhan Belanja Perlindungan Sosial Lemah
Belanja perlindungan sosial sejak 2024 hingga 2024 hanya tumbuh 124,87%. Sedangkan belanja ketertiban keamanan tumbuh hampIr dua kali lipat mencapai 199,04%.
7. Anomali Penyertaan Modal Negara pada BUMN
BUMN infrastruktur memiliki kenaikan aset di bawah 15% dari 2020 sampai 2023. Padahal total suntikan modal dari pemerintah meningkat 327,67%.
8. Belanja Perlindungan Lingkungan Hidup Masih Rendah
Belanja untuk perlindungan lingkungan hidup secara konsisten menjadi yang paling rendah ke-3 dari 11 fungsi belanja lain sejak 2014 hingga 2024. Jumlahnya bahkan tidak sampai 1,5% dari total anggaran.
9. Delusi Ambisi Pembangunan IKN
Indikator progres Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) menunjukkan lebih banyak pada lingkungan pembangunan yang tidak berdampak signifikan atau bahkan gagal daripada mendulang keberhasilan.
10. Penyempitan Ruang Fiskal
Ruang fiskal untuk inisiatif keberlanjutan semakin sempit dengan program-program ambisius dan proyek besar pada pemerintahan Prabowo-Gibran.