Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memperkirakan cita-cita mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju akan sulit tercapai pada 2045.
Hal ini tertuang dalam publikasi terbaru LPEM UI berjudul 'White Paper- Dari LPEM Bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029. Karya tulis ini dibuat oleh peneliti UI Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can.
Dalam tulisannya, Teguh menyampaikan data Bank Dunia pada 1 Juli 2020 yang menyatakan bahwa Indonesia naik kelas menjadi negara kelompok pendapatan kelas menengah atas (upper middle income countries/UMIC).
Bahkan, Indonesia membutuhkan 18 tahun sejak 2002 untuk naik kelas dari kelompok negara pendapatan kelas menengah bawah (lower middle income countries/LMIC), menuju kelompok negara pendapatan kelas menengah atas (UMIC).
"Dengan pendapatan US$ 4.050 pada 2020, Indonesia hanya berada sedikit di atas batas bawah dari kelompok pendapatan kelas menengah atas," tulis tulis Teguh dalam risetnya dikutip pada Selasa (22/10).
Namun Kondisi Covid-19 dibarengi dengan kontraksi ekonomi dan penurunan kesejahteraan masyarakat mengakibatkan Indonesia turun kembali menjadi negara kelompok pendapatan menengah bawah.
Indonesia secara relatif mampu menangani Covid-19 dengan baik sehingga kasus Covid-19 dapat dikendalikan, cakupan vaksin yang luas, kebijakan ekonomi dan sektor keuangan berjalan dengan baik sehingga pada triwulan II 2021 perekonomian dapat tumbuh kembali.
Dengan klasifikasi baru terkait batas bawah kelompok negara berpendapatan menengah atas sebesar US$ 4.256, maka pada 1 Juli 2023, Bank Dunia menetapkan Indonesia dengan pendapatan sebesar US$ 4.580 kembali menjadi negara berpendapatan menengah atas.
Dengan menggunakan the rule of 727 dan asumsi Indonesia dapat menjaga pertumbuhan pendapatan (GNI) per-kapita 5% per tahun secara konstan maka diperkirakan Indonesia akan mencapai pendapatan US$ 9.160 pada tahun 2037.
"Jika pertumbuhan pendapatan 6% per tahun, maka Indonesia akan mencapai pendapatan US$ 9.160 di tahun 2034, tetapi jika pertumbuhan pendapatan hanya 4% per tahun maka target baru akan tercapai di tahun 2040," ujarnya.
Berdasarkan sejarah, kata Teguh, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara rata-rata setelah krisis ekonomi dan sebelum pandemi Covid-19 (2000-2018) adalah sebesar 5,3%.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi sebelum krisis ekonomi periode 1980-1996 yang ditandai dengan perkembangan industri manufaktur dan liberalisasi adalah sebesar 6,4%, sedangkan pertumbuhan ekonomi pada periode 1968-1979 yang ditandai dengan harga minyak tinggi adalah sebesar 7,5%.
"Berdasarkan data sejarah pertumbuhan ekonomi Indonesia dan juga pengalaman berbagai negara lain maka seiring dengan perkembangan ekonomi maka Indonesia akan kesulitan untuk bisa memiliki pertumbuhan ekonomi lebih seperti periode sebelum krisis ekonomi 1998," kata Teguh.
Proyeksi RI Jadi Negara Maju
Dengan asumsi batas bawah upper middle income country (UIC) sama dengan tahun 2023 yaitu sebesar US$ 13.846 dengan pertumbuhan GNI per kapita sebesar 5% pertahun (setara dengan pertumbuhan ekonomi 6%), maka Indonesia akan menjadi negara maju pada tahun 2044.
UIC adalah negara berpenghasilan menengah atas atau kategori negara berdasarkan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita menurut Bank Dunia. Sedangkan dengan asumsi pertumbuhan GNI per kapita sebesar 7% per tahun, maka Indonesia menjadi negara maju pada 2038.
"Semakin berkembang perekonomian maka pertumbuhan ekonomi 5%-7% sangat sulit dicapai, dengan skenario pertumbuhan yang berbeda-beda tiap-tiap periode (5%, 4% dan 3%) maka Indonesia tidak akan mencapai UIC di tahun 2045," ujarnya.
Skenario pertumbuhan berbeda-beda merujuk pada pengalaman negara lain dimana rata-rata pertumbuhan pendapatan sejak pertama kali melewati batas UMIC sampai tahun 2022 adalah 6,7% di Cina, 2,18% di Thailand, 2,94% di Malaysia, 4,59% di Korea Selatan, dan 1,13% di Brasil.
Teguh khawatir bahwa obsesi berlebihan terhadap Mimpi Indonesia 2045 menjadi negara kaya akan mengubah orientasi kebijakan pemerintah serta alokasi sumber daya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata melalui investasi besar-besaran pada sektor padat modal.
"Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak serta merta akan mengurangi kemiskinan jika mesin pertumbuhan dimotori oleh sektor-sektor di mana kelompok miskin dan rentan kurang terlibat," kata Teguh.
Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti di Halmahera Tengah, sebagai tempat hilirisasi nikel tetap tidak serta merta menurunkan angka kemiskinan secara masif.
Rata-rata partumbuhan ekonomi Halmahera Tengah pada tahun 2019-2022 adalah sebesar 75,61% per tahun tetapi angka kemiskinan di Halmahera Tengah pada periode yang sama hanya turun sebesar 2,12% poin dari 14,12% (2019) menjadi 12 (2022).
"Oleh karena itu, pertanyaan pertumbuhan untuk siapa sangat penting untuk kita renungkan bersama? Mengejar pertumbuhan ekonomi semata akan menjadikan Indonesia kaya tetapi kemiskinan masih ada dimana-mana," ujarnya.
Menurut Teguh, suatu negara membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, resilien dan berkelanjutan untuk bisa naik kelas menjadi UIC. Pertumbuhan ekonomi yang stabil, resilien dan berkelanjutkan membutuhkan kualitas sumber daya manusia unggul, stabilitas sosial dan politik, institusi yang inklusif serta faktor sosial budaya yang mendukung.
Selain itu, perlu dukungan inovasi teknologi, infrastruktur yang baik, perdagangan internasional yang aktif, kebijakan ekonomi yang efektif dan hati-hati. Hal ini memungkinkan peningkatan produktivitas, sementara infrastruktur yang baik memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.
"Keterlibatan dalam perdagangan internasional membantu meningkatkan pendapatan ekspor, dan kebijakan ekonomi yang efektif dan hati-hati mendukung stabilitas ekonomi," kata Teguh.