Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadikan pajak pertambahan nilai atau PPN sebagai sumber pajak, seperti yang terjadi di Eropa. Bahkan, pemerintah berencana menaikan PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025.
PPN di Indonesia menjadi kontributor terbesar kedua setelah pajak penghasilan. Berdasarkan dokumen APBN KiTA Edisi November 2024, kontribusi pajak penghasilan mencapai Rp 785,57 triliun atau kontribusinya terhadap total penerimaan negara sebesar 57,98% pada September 2024.
Sementara realisasi PPN dan pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM mencapai Rp 546,65 triliun pada September 2024. Kontribusi dua kelompok pajak ini terhadap total penerimaan negara mencapai 40,35%.
Menariknya, Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar dan terkuat di dunia justru tidak menerapkan PPN sebagai sumber pendapatan. Dikutip dari fonoa.com, Kamis (21/11), penerapan PPN justru mendominasi lanskap wilayah Eropa dan lebih dari 170 negara secara total di seluruh dunia.
Sebaliknya, AS justru bergantung pada berbagai macam pajak penjualan yang dikelola oleh negara bagian dan yurisdiksi lokal. Pajak penjualan merupakan pajak konsumsi satu tahap yang dikenakan pada penjualan eceran properti pribadi dan jasa di titik akhir penjualan kepada konsumen akhir.
Amerika tidak menerapkan sistem PPN karena sistem pemerintahan federal mendelegasikan tanggung jawab pengelolaan pajak kepada masing-masing negara bagian. Jika AS ingin menerapkan PPN, maka membutuhkan upaya signifikan untuk menyatukan berbagai sistem pajak.
Saat ini, ada lebih dari 12 ribu yurisdiksi perpajakan untuk pajak penjualan di AS yang menciptakan berbagai macam peraturan dan tarif yang rumit di seluruh negeri.
Salah satu keuntungan sistem pajak penjualan adalah memungkinkan kontrol yang lebih besar di tingkat negara bagian dan lokal. Hal itu berarti, sistem ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan khusus wilayah tersebut.
Namun, kurangnya keseragaman dalam tarif, cakupan, dan definisi pajak penjualan di seluruh negara bagian dan lokal dapat menimbulkan kebingungan dan tantangan kepatuhan yang sangat besar bagi bisnis yang beroperasi di berbagai yurisdiksi AS.
Kenapa AS Sulit Terapkan PPN?
Meskipun sistem PPN digunakan secara luas di seluruh dunia, AS tetap menjadi pengecualian. Menerapkan PPN di AS akan menghadapi banyak hambatan dan tantangan.
Hambatan pertama yaitu sistem pemerintahan federal AS. Dengan adanya sistem pemerintahan ini, AS memiliki sistem pajak yang lebih terdesentralisasi daripada banyak negara lain.
Hal itu dilakukan dengan Konstitusi AS yang memberikan kekuasaan yang signifikan kepada masing-masing negara bagian. Negara bagian AS memiliki undang-undang pajak sendiri dan merupakan sumber pendapatan penting bagi negara bagian dan lokal.
Hambatan yang kedua yaitu kompleksitas sistem pajak penjualan. Memperkenalkan sistem PPN di AS akan menjadi usaha yang sulit. Sebab, saat ini, sistem pajak penjualan yang kompleks di negara tersebut saat ini memiliki cakupan, definisi, tarif pajak, dan pengecualian yang berbeda di setiap negara bagian.
Untuk mencapai keseragaman nasional dan penyelesainnya akan memerlukan koordinasi yang luas. Hal ini mungkin belum pernah terjadi sebelumnya antara pemerintah federal, negara bagian, daerah, dan kota.
Hambatan ketiga yaitu dampak PPN kepada bisnis. Sebab, PPN diterapkan pada setiap tahap rantai pasok sehingga akan memberikan beban yang lebih signifikan pada beberapa bisnis daripada pajak penjualan.
Kemudian hambatan keempat yaitu dampak PPN kepada konsumen. Dengan memperkenalkan PPN di AS, kemungkinan akan berarti tarif pajak yang lebih tinggi bagi konsumen akhir.
PPN umumnya diterapkan pada tarif yang lebih tinggi daripada pajak penjualan. Lebih jauh lagi, peningkatan biaya sistem pajak baru dapat menyebabkan harga konsumen yang lebih tinggi.
Hambatan kelima yaitu dampak PPN kepada pemerintah. AS memiliki ekonomi yang besar dan rumit. Dengan menerapkan sistem PPN akan memerlukan perubahan signifikan pada infrastruktur pajak.
Selain itu, pemerintah AS juga perlu membangun sistem untuk mengelola dan memungut PPN. Hal ini memerlukan investasi yang signifikan dalam teknologi dan personel, biaya yang tinggi, dan dapat memakan waktu bertahun-tahun untuk diterapkan.
Hambatan keenam berkaitan dengan kurangnya kemauan politik, karena semua hambatan yang muncul membuat para politisi ragu untuk mengubah sistem yang sudah ada saat ini. Mereka khawatir akan adanya potensi gangguan dan perlawanan dari pemerintah daerah dan warga negara.