Risiko Investasi
Dari sisi risiko, boleh dibilang sesungguhnya investasi Telkomsel di GoTo cukup terukur. Meski mayoritas saham Telkomsel dimiliki oleh BUMN Telkom, sekitar 35 persen sahamnya dikuasai oleh Singapore Telecommunication Ltd. (Singtel). Dana investasi pun sepenuhnya dari internal Telkomsel. Telkom sebagai pemegang saham, hanya dimintai persetujuan.
Raksasa telekomunikasi asal Singapura itu pastinya juga tak akan serta-merta memberi lampu hijau jika investasi di GoTo dinilai gegabah. Mereka bahkan bisa mengganjalnya dengan hak veto yang dimilikinya. Apalagi di jajaran komisaris Telkomsel, terdapat Group CEO of Singtel, Yuen Kuan Moon.
Perlu juga dicatat, sejumlah raksasa perusahaan investasi dan digital dunia sudah lebih dulu masuk ke Gojek. Google, Facebook, PayPal, Tencent, dan Temasek beberapa di antaranya. Di dalam negeri, perusahaan papan atas seperti Astra, Mandiri, Djarum, dan Sinar Mas tak ketinggalan. Mereka pun tentunya tak kebal dari potensi rugi akibat fluktuasi harga saham GoTo.
Masuknya BUMN ke ranah investasi start-up digital sebetulnya agak terlambat. Ini karena adanya kekhawatiran bahwa model bisnis perusahaan rintisan yang mengejar valuasi dengan membakar uang terlalu berisiko. Dana investasi yang harus digelontorkan pun super besar.
Tak mengherankan, semula perusahaan swasta nasional dan BUMN enggan masuk ke perusahaan rintisan teknologi. Akibatnya, startup besar Indonesia sepenuhnya bergantung pada dana asing.
Jangan lupa, kritik keras pernah terlontar dalam debat Calon Presiden 2019, juga dari Chairul Tanjung. Pemilik Transcorp ini mempertanyakan dominasi kepemilikan asing atas perusahaan-perusahaan startup nasional. Indonesia dinilainya hanya menjadi pasar.
Masuknya dana investasi asing ke startup, bagaimanapun amat menguntungkan Indonesia. Bayangkan, ketika penanaman modal langsung (foreign direct investment) di sektor bisnis konvensional jeblok dan nilai tukar rupiah merosot hingga Rp 15 ribu per dolar AS pada 2018, aliran dana asing ke sejumlah startup unicorn saat itu sedikitnya mencapai US$ 6 miliar.
Lagi pula, dana jumbo itu dibakar di dalam negeri untuk penetrasi pasar. Yang menikmati pun masyarakat Indonesia. Berupa bebas ongkos kirim belanja online atau pun tarif murah bersubsidi untuk layanan antar-jemput penumpang.
Pertanyaannya, apakah Indonesia hanya akan jadi penonton di tengah deru gelombang investasi di bisnis startup? Jika tidak, lalu siapa pemodal lokal, baik swasta maupun BUMN, yang mau berinvestasi?
Peluang Sinergi
Pentingnya dukungan investasi terhadap startup, juga perlu dilihat dari besarnya kontribusi ekonomi digital terhadap perekonomian Indonesia yang luar biasa besar. Sumbangan GoTo diperkirakan mencapai Rp 340 triliun atau sekitar 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Ini tak mengherankan, mengingat sepanjang 2020 saja, transaksi yang dibukukan Gojek-Tokopedia mencapai 1,8 miliar senilai total US$ 22 miliar. Di dalamnya, tergabung lebih dari 2 juta mitra pengemudi, 11 juta mitra usaha dan UMKM, serta sedikitnya 100 juta pengguna aktif bulanan.
Besarnya jejaring bisnis GoTo inilah yang pada akhirnya membuat sejumlah perusahaan besar nasional kepincut untuk berinvestasi di startup hijau ini. Peluang sinergi pun terbuka lebar. Astra Group contohnya. Sejak masuk ke GoTo pada 2018 dengan total investasi Rp 3,5 triliun, raksasa otomotif ini membentuk perusahaan patungan dengan Gojek.
Yang dibidik adalah penyediaan ribuan unit armada kendaraan dengan sistem pengelolaan operasional, yang didukung oleh Astra Fleet Management Solution (FMS) dan teknologi ride hailing pada aplikasi Gojek, khususnya Go-Car.
Peluang sinergi ini pula yang kemudian dibidik Telkom Group, khususnya Telkomsel, yang kini tengah melakukan transformasi besar menjadi perusahaan teknologi digital dunia. Salah satu peluang itu terdapat pada mitra pengemudi GoTo, yang kini diperkirakan mencapai 2,5 juta.
Dari jumlah itu, sebanyak 40 persen atau sekitar 1 juta mitra pengemudi belum menggunakan Telkomsel sebagai provider. Bidikan itu jitu rupanya. Setelah terjadi sinergi, pada 2021 Telkomsel sudah berhasil meraup pendapatan Rp 473 miliar, yang berasal dari pelanggan baru mitra pengemudi Gojek melalui pembelian paket data Telkomsel.
Peluang sinergi lainnya yang menjanjikan keuntungan adalah paket data internet untuk merchant GoFood. Selain itu, menjadikan merchant mitra Gojek sebagai reseller Telkomsel.
Berdasarkan itu semua, Dirut Telkom Ririek Ardiansyah berkali-kali menegaskan bahwa keputusan berinvestasi di GoTo, tidak hanya mempertimbangkan aspek capital gain atau loss. Melainkan, aspek potensi sinergi. Bahkan ia meyakini, "Potensi synergy value dengan GoTo justru lebih besar dari nilai yang sudah diinvestasikan Telkom Group.”
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.