Keresahan para mitra pengemudi Gojek dan Grab selama ini menjadi peluang bagi pemain baru transportasi online berkompetisi di Indonesia. Bagi hasil yang dinilai kurang menguntungkan dan banyaknya akun pengemudi yang dibekukan memicu para mitra pengemudi (driver) mencari perusahaan baru yang bisa menjawab permasalahan mereka.
Beberapa hari lalu, ratusan driver berunjuk rasa di depan Kantor Gojek Pasaraya Blok M, Jakarta. Mereka menuntut pihak Gojek membuka akun rekan-rekannya yang dibekukan (suspend) secara sepihak oleh perusahaan. Mereka juga menyatakan keberatan atas skema insentif baru Gojek dan pungutan asuransi sebesar Rp 2.000.
“Kami persilakan mereka (Gojek Indonesia) memberikan jawaban. Kalau jawabannya tetap tidak memuaskan, kami akan balik lagi," kata salah satu pendemo, Senin (5/8). Sebelumnya, mereka sudah memberikan surat terbuka bagi Chief Executive Officer (CEO) Gojek Indonesia Nadiem Makarim terkait tuntutan ini. Demonstrasi pun meluas ke daerah-daerah lain, bahkan sempat rusuh di Semarang.
(Baca: Unjuk Rasa Mitra Pengemudi di Kantor Gojek Sempat Rusuh)
Demonstrasi dengan tuntutan yang sama pernah dilakukan driver Grab menjelang akhir tahun lalu. Selain menghapus kebijakan pemutusan kerja sama dengan mitra pengemudi secara sepihak, mereka juga menuntut perusahaan mengkaji ulang tarif dan skema kerja sama, serta kesejahteraan para mitra pengemudi. Skema kerja sama Gojek dan Grab yang memungut 20 persen dari setiap transaksi dinilai memberatkan mitra pengemudi.
Di tengah keresahan para driver Gojek dan Grab, muncul pemain-pemain baru dengan menawarkan solusi. Setidaknya ada tujuh aplikator transportasi online baru yang akan berkompetisi melawan dominasi Gojek dan Grab di Indonesia. Mereka telah belajar dari kegagalan Uber yang sudah mundur tahun lalu, serta kelemahan Gojek dan Grab.
(Baca: Persaingan Ketat Gojek dan Grab Menjadi SuperApp)
Persaingan menjaring pun mitra menjadi semakin ketat. Para pemain baru dari asing dan lokal menyatakan siap menampung mantan driver Gojek dan Grab terkena sistem suspend. Mereka juga menawarkan kerja sama yang lebih menguntungkan bagi para mitranya.
Masuknya 7 Aplikator Baru Transportasi Online
1. Bitcar Indonesia
Sama seperti Grab, Bitcar berasal dari Malaysia. Di negaranya bernama Bitcar Malaysia Sdn Bhd, sedangkan operasional Bitcar di Indonesia dikerjakan oleh PT Bitokenpay Digital Indonesia (Bitcar Indonesia). Perusahaan ini berdiri pada April 2019 dan berencana memulai operasinya pada pekan kedua Agustus untuk jasa taksi online dan menyusul layanan ojek tahun depan.
(Baca: BitCar Tawarkan Skema Bagi Hasil Lebih Rendah dari Gojek dan Grab)
Chief Operational Officer (COO) Bitcar Indonesia Christiansen Wagey mengatakan kehadiran perusahaannya di Indonesia dilandasi perhatian atas permasalahan yang terjadi di transportasi online. Saat ini sudah ada 1.000 mitra pengemudi Bitcar Indonesia yang sebelumnya berprofesi sebagai mitra Gojek dan Grab.
"Kami tidak membuka orang baru menjadi driver, karena sekarang driver sudah banyak. Kebanyakan keluhan teman-teman itu orderan kurang, nah ini kami menjadikan Bitcar pilihan buat driver juga," ujarnya. Bitcar menawarkan skema bagi hasil yang lebih menarik dari Gojek dan Grab, yakni 85 persen dari setiap transaksi untuk para mitra pengemudi.
2. Fastgo
Perusahaan Vietnam ini baru berdiri pada tahun lalu, setelah hengkangnya Uber dari Asia Tenggara. Kini, Fastgo mengklaim telah memiliki 60 ribu mitra pengemudi di negaranya dan berencana masuk ke Indonesia pada akhir tahun ini. Sebelum masuk Indonesia, FastGo lebih dulu hadir di Myanmar dan Singapura awal tahun ini.
Melalui pernyataan resminya pada Maret lalu, FastGo menawarkan hal yang berbeda dengan Gojek dan Grab, salah satunya tarif yang tetap. Gojek dan Grab mengadopsi tarif dinamis, artinya tarif itu bisa naik turun sesuai permintaan pada waktu tertentu.
(Baca: Peluang FastGo Bersaing dengan Gojek dan Grab di Indonesia)
Kr-Asia pernah membandingkan harga FastGo dengan Grab dan Gojek di Singapura. FastGo mengenakan tarif US$ 19,7 untuk 21,5 kilometer perjalanan menggunakan kendaraan roda empat. Sedangkan tarif Gojek dan Grab masing-masing hanya US$ 13 dan US$ 13,2 untuk jarak yang sama.
Di negara asalnya, FastGo juga meluncurkan layanan naik helikopter bernama FastSky. Layanan seperti ini sempat disediakan oleh Grab di Jakarta, Indonesia pada 2017.
3. Maxim
Maxim berdiri pada 2003 di Rusia dan hingga kini sudah hadir di 16 negara, seperti Indonesia, Azerbaijan, Armenia, Belarus, Bulgaria, Georgia, Italia, Kazakhstan, Kirgizstan, dan Malaysia. Startup ini juga menyediakan layanan di Mongolia, Republik Siprus, Tajikistan, Uzbekistan, Ukraina, Montenegro, Republik Ceko.
Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, layanan Maxim sudah tersedia sejak Juni 2012 di Indonesia. Aplikasinya pun sudah diunduh lebih dari 10 juta kali. Maxim menyediakan dua layanan yakni ojek online dan taksi online.
(Baca: Asing hingga Lokal, Ini Pesaing Gojek dan Grab di Indonesia)
Pengguna bisa menentukan tarif sendiri dan memesan layanan secara terjadwal. Konsumen juga bisa memberi keterangan melalui aplikasi jika membawa hewan peliharaan dan bagasi. Sedangkan pengemudi Maxim bisa memilih pengguna mana yang akan dilayani, dengan melihat rute dan tarif yang ditawarkan. Melalui aplikasi Maxim, penumpang juga bisa mengubah rute perjalanan.
4. Asia Trans
Asia Trans berdiri sejak Oktober 2018 di Indonesia. Hingga akhir tahun Juni lalu, jumlah driver-nya sudah mencapai 300 ribu orang dan jumlah pelanggannya 150 ribu mitra yang tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Indonesia. Targetnya hingga akhir tahun ini jumlah driver-nya bertambah menjadi 800 ribu mitra dan 1 juta pelanggan.
Asia Trans menerapkan big data yang bisa mempermudah aplikasinya dan firewall untuk mempercanggih teknologinya. Perusahaan ini menerapkan skema bagi hasil 85 persen untuk mitra pengemudi dan 15 persen aplikator.
5. Anterin
Aplikasi Anterin diluncurkan pada 2017. Keunikan layanan perusahaan lokal ini adalah memberikan mitra driver untuk memilih sendiri pelanggannya. Driver tersebut bisa menjadi langganan tetap pengguna. Berbeda dengan Gojek dan Grab yang mitra driver-nya dipilih secara acak.
Anterin tak mengenakan skema berbagi keuntungan komisi (commision based). Mitra pengemudi dikenakan biaya berlangganan di aplikasinya. Hingga kini pengemudi masih dibebaskan biaya langganan, nantinya setelah masa promosi habis akan dikenakan Rp 300 ribu per bulan untuk motor dan Rp 600 ribu per bulan untuk mobil.
(Lihat Infografik: Anterin.id, Pemain Baru Ojek Online)
Pendiri dan CEO Anterin Imron Hamzah mengatakan pengemudi dapat mengatur sendiri tarifnya sesuai dengan regulasi (tarif bawah dan atas). Saat ini Anterin memiliki 200 ribu driver dengan komposisi 90 persen motor dan 10 mobil. Saat ini layanan Anterin telah tersedia di Jabodetabek dan 22 kota lainnya.
6. Bonceng
Aplikator lokal ini sama seperti Anterin yang tidak menerapkan skema bagi hasil, melainkan biaya berlanggan. Mitra pengemudi hanya membayar Rp 50 ribu per pekan. Nominal tarif ini tetap walaupun pengemudi mendapatkan banyak penumpang.
"Tidak ada potongan komisi. Aktivitas di lapangan jadi hak penuh mitra pengemudi," kata Chief Executive Officer (CEO) dan Founder Bonceng Faiz Nouval kepada katadata.co.id. Menurutnya, uang tersebut dianggap bermanfaat untuk pengemudi membeli bensin, membayar biaya perbaikan kendaraan, serta biaya risiko di jalan.
(Baca: Bonceng, Pemain Baru Ojek Online Tawarkan Pembebasan Komisi Tarif)
Bonceng sudah beroperasi sejak November 2018, tetapi sistemnya belum bekerja secara penuh. Faiz mengaku baru memberikan sekitar 700 paket jaket dan helm kepada mitra pengemudi. Namun, "Sudah ada sekitar 22 ribu lebih calon driver baik motor maupun mobil," ujarnya.
Saat ini, penggunaan Bonceng masih terbatas di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Jumlah pengguna aktifnya sudah hampir 30 ribu pengguna. Ke depan, Bonceng membidik ekspansi hingga ke pelosok-pelosok daerah. Pendekatan langsung kepada mitra pengemudi pun jadi strategi Bonceng dalam mempromosikan diri, termasuk untuk menggaet lebih banyak mitra pengemudi.
7. Klik GO
Aplikasi rintisan Klik GO baru diluncurkan April lalu dan langsung mendapat dukungan penuh dari Asosiasi Pengusaha Transportasi Nasional Indonesia (Aptrindo). Tak hanya dukungan, Aprindo akan bersinergi lebih jauh dengan Klik GO untuk lebih mengakomodir kebutuhan perusahaan dan memperbesar serapan tenaga kerja.
Direktur Utama Klik GO Yayan Sofyan mengatakan untuk menembus pasar transportasi online pihaknya akan menawarkan lebih dari sekadar jasa transportasi. Menurutnya, yang membedakan aplikasinya dengan aplikasi transportasi online lainnya adalah, Klik GO hadir sebagai aplikasi untuk memberikan penghasilan tambahan dan tidak mengharuskan mitra pengemudi mengejar target.
(Baca: Klik GO Resmi Meluncur, Aptrindo Beri Dukungan Penuh)
Aplikasi Klik GO juga mengusung konsep media sosial yang memberikan penghasilan tambahan bagi penggunanya. Jadi, selain menggunakan jasa yang diberikan perusahaan, aktivitas pengguna pada media sosial Klik GO juga bisa mendatangkan penghasilan dalam bentuk poin yang bisa ditukar dengan pulsa, makanan, dan produk lainnya.
Dalam skema bagi hasil, Klik GO hanya mengutip 10 persen dari pendapatan mitra pengemudi. Tarif yang ditetapkan tunggal dan tetap, yang besarannya sesuai regulasi yang diatur pemerintah. Tidak ada sanksi bagi driver yang tidak mengambil atau menolak pesanan.
Pemain Baru Akan Sulit Menyaingi Gojek dan Grab
Meski menawarkan kemudahan dan keuntungan lebih kepada mitra pengemudi, para pemain baru di transportasi online ini dinilai masih akan sulit bersaing dengan Gojek dan Grab. "Mereka butuh pendanaan yang besar. Lalu apakah mereka bisa mendapatkan keuntungan dari bisnis dengan skema seperti itu," kata Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal.
Pendanaan yang besar dibutuhkan untuk mengembangkan sistem, adopsi teknologi, dan promosi. Gojek dan Grab terkadang memberikan subsidi kepada konsumen. Armada Gojek dan Grab juga cukup besar. Makanya, sulit bagi pemain baru menyaingi keduanya.
(Baca: Tarif Ojek Online Naik, Pemain Baru Masih Sulit Saingi Gojek dan Grab)
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (iDEA) Ignatius Untung sependapat dengan Fithra. Dia menilai pemain baru perlu pendanaan besar untuk bisa bersaing dengan Gojek dan Grab. “Tanpa pendanaan luar biasa, sepertinya akan berat bagi pemain baru masuk ke sektor yang sudah banyak pemainnya,” ujarnya.
Sebelumnya, banyak aplikator transportasi online yang harus tutup karena kalah bersaing. Pada awal masa kejayaannya, banyak bermunculan alternatif ojek online yang menawarkan keunggulan masing-masing. Mulai dari Uber, Call Jack, Ojekkoe, Topjek, OjekArgo, Taxi Motor, Ladyjek, Bangjek, Blujek, Smartjek.
Seiring dengan berjalannya persaingan, hanya Grab dan Gojek yang berhasil bertahan hingga saat ini. Uber dan Blue Bird pun masuk menjadi mitra Grab. Matinya bisnis transportasi online ini karena perusahaan kelas kakap (Gojek dan Grab) memberikan promosi besar-besaran.
(Baca: Riset UI: Gojek Sumbang Rp 55 Triliun ke RI, Paling Banyak dari GoRide)