Aneka Stimulus agar Industri Batik Tak Makin Remuk

Katadata | 123RF
Penulis: Ekarina
19/10/2020, 08.30 WIB
Aneka Stimulus bagi UMKM Batik (Katadata)

Meski demikian, menurut Gati, masih ada kendala memasarkan batik secara online, terutama untuk jenis batik tulis. Musababnya, pembeli atau pengguna kadang ingin memegang tekstur kain dan melihat corak warna secara langsung. Masalah tersebut agak teratasi oleh startup dan aplikasi yang mampu mengkompres data. Tampilan warna dan corak gambar bisa semakin mirip atau mendekati aslinya.

Untuk pasar luar negeri, ada strategi dalam penetrasi ekspor batik. Menurut Gati, Kemenperin telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan atase perdagangan dan perindustrian Indonesia di berbagai negara untuk mempromosikan batik. Dengan mengenakan batik di setiap kesempatan, misalnya, para perwakilan di luar negeri ini diharapkan bisa menemukan peluang baru pasar ekspor.

Data Kementerian Perindustrian mencatat, pada semester pertama 2020 ekspor batik berbentuk sandang (pakaian) dengan berbagai media eksterior serta interior mencapai US$ 21,54 juta atau Rp 316 miliar. Bila dibandingkan dengan semeter satu 2019 yang sebesar US$ 17,99 juta, ekspor batik naik 19 %. 

Hingga akhir tahun ini, ekspor diperkirakan mencapai US$ 43,08 juta atau Rp 632 miliar. Pasar batik luar negeri terbesar saat ini masih di Jepang (50 %), Amerika Serikat (30 %), dan Eropa (20 %).

Sedangkan bila dilihat lima tahun terakhir, tren ekspor batik terus menurun. Pada 2015 ekspor batik mencapai US$ 185,04 juta, lalu menurun di 2016 menjadi US$ 156,03 juta dan 2017 merosot ke US$ 73,79 juta. Berikutnya 2018 ekspor batik US$ 52,33 juta dan 2019 naik tipis menjadi US$ 54,36 juta.

Penurunan ekspor batik tak lepas kondisi persaingan. Pesaing Indonesia antara lain Tiongkok dan Vietnam. Selain itu, banyak konsumen dunia belum teredukasi tentang motif batik Indonesia. Sebagai contoh, banyak yang menganggap kain printing sebagai batik, padahal komoditas tersebut merupakan produk tekstil bermotif batik. 

Ke depan, Gati meminta pelaku usaha batik berinovasi ke produk-produk yang permintaannya tinggi seperti furnitur rumah, jika permintaan pakaian batik sedang turun. Inovasi bahan baku dengan pewarna alam juga harus mulai dikembangkan. Selain mempengaruhi kualitas warna, pewarna alam berpotensi diminati pasar luar negeri karena alami. 

Koperasi UMKM Batik

Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM Victoria Simanungkalit mengatakan pemerintah telah menggelontorkan berbagai stimulus untuk membantu Usaha Mikro Kecil Menengah selama pandemi. Beberapa di antaranya subsidi bunga KUR 6 % hingga akhir tahun, relaksasi pajak selama enam bulan, dan tambahan moda kerja bagi UMKM yang memproduksi masker.

Pemerintah juga membantu pelaku usaha UMKM lewat program bantuan langsung tunai UMKM senilai Rp 2,4 juta yang ditransfer lewat rekening. Total ada 12 juta UMKM yang akan menerima bantuan. Kendala mendapatkannya biasanya ada di. “Sehingga mereka (UMKM) harus aktif, mendaftar ke Dinas Perdagangan Perindustrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,” kata Victoria.

Para perajin juga didorong segera membangun koperasi, seperti koperasi batik. Badan usaha ini dapat membuat biaya operasional UMKM batik lebih efisien. Misalnya, pendanaan untuk pengadaan bahan baku dan pewarna akan lebih mudah dibandingkan dilakukan sendiri.

Begitupun dengan pengelolaan limbah atau sisa bahan. Jika didaur ulang melalui koperasi diperkirakan bisa efisien 30% dan berpeluang menghasilkan pendapatan tambahan.

Sedangkan untuk akses pasar, Victoria berharap UMKM, khususnya usaha batik, semakin lekat dengan teknologi digital. Pelaku usaha perlu pula memproduksi barang yang sedang diminati saat ini. Misalnya, pakaian daster trendi yang permintaannya meningkat karena banyak perempuan kini berada di rumah. 

Untuk meningkatkan pangsa pasar produk dalam negeri, pengadaan melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) kini wajib menggunakan produk UMKM. Kebijakan tersebut telah tercantum dalam Perpres Nomor 16/2018 . Seluruh pimpinan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah wajib mencadangkan belanja pengadaan hingga Rp 2,5 miliar untuk usaha kecil. Dukungan ini sejalan dengan kampanye #BanggaBuatanIndonesia.

Hasil survei Badan Pusat Statistik merekam 82,85 % pengusaha mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi Covid-19. Menyusutnya pendapatan paling banyak dialami usaha menengah kecil mencapai 84 %, dibandingkan usaha menengah besar yang mencapai 82 %.

Halaman: