Plus-Minus Rencana Besar IBC Akuisisi Mobil Listrik StreetScooter

123RF.com/Petovarga
Ilustrasi tiga mobil listrik sedang mengisi daya.
8/12/2021, 14.22 WIB
  • IBC berencana memiliki kepemilikan mayoritas di StreetScooter.
  • Para pengamat menilai IBC sebaiknya teguh pada bisnis intinya, memproduksi baterai.
  • StreetScooter sedang dijual oleh induknya karena terus merugi.

Rencana mengakuisisi pabrikan mobil listrik asal Jerman, StreetScooter, menjadi sorotan. Pemerintah, melalui Indonesia Battery Corporation alias IBC, akan melakukan aksi korporasi ini demi memperkuat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

Dalam dokumen yang diterima Katadata.co.id, akuisisi itu termasuk dalam rencana yang sedang berlangsung alias saat ini. Holding baterai yang terdiri atas badan usaha milik negara (BUMN) Pertamina, PLN, MIND ID, dan Aneka Tambang (Antam) tersebut akan melakukan akuisisi bersama investor lainnya.

IBC akan memiliki porsi kepemilikan mayoritas, lebih dari 60%, dan memegang kendali perusahaan. Perusahaan telah melakukan kajian pada Juni hingga September lalu dengan konsultan BNP Paribas, McKinsey, PwC, Ricardo, KYC, Shearman & Sterling, dan MDC. 

Hasil uji kelayakan para konsultan menunjukkan investasi itu tidak ada major red flag (tidak wajar) pada aspek finansial, pajak, dan hukum. Seluruh risiko telah disusun mitigasinya yang akan terefleksi pada dokumen perjanjian.

Sebelumnya, Corporate Secretary IBC Muhammad Sabik mengatakan, perusahaan sedang melakukan kajian dan evaluasi secara menyeluruh terhadap seluruh aspek rencana tersebut. 

Sesuai Rencana Jangka Panjang Perseroan (RJPP), IBC akan melakukan pengembangan bisnis pada baterai (EVB) dan kendaraan listrik (EV). Pengembangan kendaraan listrik akan menjadi kunci mendukung program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) di Indonesia.

"Salah satu upaya yang dilakukan IBC adalah mengembangkan portofolio bisnis untuk mendapatkan know-how dan knowledge transfer serta mitra strategis yang memiliki kompetensi dalam pengembangan EV," kata Sabik, 26 November lalu.

Beberapa hal membuat IBC optimistis dengan rencana tersebut. StreetScooter, menurut dokumen tersebut, telah memiliki dua produk kendaraan niaga listrik atau electric light commercial vehicles (eLCV), yaitu Sherpa Max dan Sherpa Giga. 

Rekam jejaknya dianggap baik dan memiliki kepastian pemesanan dari Deutsche Post (induk usaha perusahaan logistik DHL) sebanyak 3 ribu unit kendaraan per tahun. 

Perusahaan juga menjadi importir eksklusif eLCV di Jepang. StreetScooter memiliki tim berpengalaman dan teknologi yang mumpuni. 

IBC melihat peluang mendapatkan teknologi penyimpanan baterai (EV battery pack), sistem penyimpanan energi (energy storage system), dan fasilitas riset serta pengembangan kelas dunia dari akuisisi StreetScooter. Ada pula peluang mendapatkan captive market bagi produk baterai yang dihasilkan IBC. 

Sebagai informasi, kantor pusat StreetScooter berlokasi di Aachen, Jerman. Perusahaan merupakan anak usaha dari Deutsche Post sejak diakuisisi 100% pada 2014. Kendaraaan StreetScooter adalah EV khusus untuk logistik.

Model pertamanya hadir pada 2012. Saat ini kapasitas produksinya mencapai 30 ribu unit per tahun. Deutsche Post berambisi menyediakan layanan logistik tanpa emisi pada 2050. Setiap unit kendaraan StreetScooter dapat menghemat 3 sampai 4 ton karbon dioksida (CO2) per tahun. 

Pada Oktober 2017 Streetscooter mengumumkan membangun pabrik kedua di Duren dengan kemampuan produksi hingga 10 ribu kendaraan per tahun. Hingga 2020, perusahaan telah mendistribusikan 13.500 mobil van dan truk listrik ke seluruh Jerman.

Kemudian pada September 2019, StreetScooter juga mengumumkan rencana kerja sama dengan pabrikan otomotif asal China yakni Chery. Rencana kerja sama tersebut untuk memproduksi hingga 100 ribu kendaraan per tahun pada 2021. 

Namun, rencana itu pun bersamaan dengan keinginan Deutsche Post untuk melepas StreetScooter. Sejak diakuisisi, sebagian besar produk kendaraan StreetScooter dibeli oleh induknya. Secara komersial, perusahaan terus merugi. Penjualan produk StreetScooter tidak kunjung berjalan lancar. 

Mengutip Reuters, Deutsche Post diketahui telah setuju untuk menjual StreetScooter kepada perusahaan Jerman bernama Odin Automotive yang berbasis di Luksemburg. Proyek Odin lalu menjadi nama rencana akuisisi IBC terhadap StreetScooter. 

Pabrik mobil listrik StreetScooter di Jerman. (Katadata/Instagram)

Kritik Akuisisi StreetScooter

Menanggapi rencana akuisisi StreetScooter, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto mengatakan, pengembangan mobil listrik sebenarnya bisa dimulai dari dalam negeri terlebih dahulu.

Sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki negeri ini juga mumpuni di industri otomotif. "SDM kan tinggal dilatih saja. Skill kita baik dan sudah terbukti produk otomotif serta komponennya banyak diekpor," katanya kepada Katadata.co.id, 2 Desember lalu.

Tantangan pengembangan EV di Indonesia adalah harganya masih mahal. Rata-rata di atas Rp 600 juta. Sedangkan daya beli mayoritas masyarakat di level Rp 300 juta ke bawah. 

Semua merek mobil listrik siap diproduksi di Indonesia. Namun, pertanyaannya saat ini adalah berapa banyak yang bisa dijual. “Apakah dapat mencapai skala keekonomian?” ucap Jongkie.

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia tidak perlu bernafsu melakukan akuisisi perusahaan mobil listrik. Negara ini seharusnya masuk dulu ke komponen mobil listrik karena memiliki bahan baku nikel besar. Nikel merupakan komponen utama dalam pembuatan baterai

Alasan akuisisi untuk memiliki keahlian di bidang kendaraan listrik dinilai tidak masuk akal. “Banyak engineer Indonesia bekerja di perusahaan mobil listrik, tinggal dibajak saja, bukan beli seluruh perusahaan," ujarnya.  

Konsorsium perguruan tinggi di Indonesia sebenarnya sudah melakukan riset dan mengembangkan prototipe mobil listrik nasional (Molina). Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyarankan agar para BUMN mengakuisisi saja teknologi tersebut.

“Apakah Kementerian BUMN dan IBC mempertimbangkan adanya opsi ini, ketimbang membeli perusahaan yang tidak jelas teknologi dan daya saingnya," kata Fabby.

IBC, menurut dia, lebih baik fokus pada produksi baterai dan melakukan kerja sama dengan produsen mobil listrik dari Korea, Tiongkok, dan lainnya. Kemudian, perusahaan dapat melakukan riset pengembangan teknologi baterai untuk mengantisipasi kebutuhan baterai di masa depan.

StreetScooter masih tergolong pemain “hijau” di industri mobil listrik. Perusahaan baru memiliki empat hak paten, Sedangkan kompetitornya sudah memiliki puluhan hak paten. “Risikonya terlalu tinggi. Kenapa harus membeli perusahaan yang tidak memiliki teknologi dasar?” katanya.

Sebagai informasi, pada saat pembentukan IBC pada 26 Maret 2021, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut holding tersebut akan fokus pada bisnis baterai listrik dari hulu hingga hilir. Nantinya, produk baterai yang dihasilkan tidak hanya fokus untuk mobil listrik saja. 

Kendaraan roda dua juga bakal menjadi konsumen IBC. Targetnya, Indonesia menjadi pemimpin untuk pembuatan baterai kendaraan roda dua dan baterai stabilisator pembangkit listrik energi terbarukan.

Keraguan terkait akuisisi StreetScooter diutarakan pula oleh pengamat otomotif Bebin Djuana. IBC lebih baik teguh pada core business perusahaan, yaitu memproduksi baterai listrik. 

Saat ini tidak ada satu pun perusahaan yang memborong bisnis dari produksi baterai hingga ke produksi kendaraan listrik. “Mobil listrik hanya membutuhkan satu per lima bagian dari mobil berbahan bakar bensin yang kita kenal sekarang. Jadi tidak terlalu rumit, tapi pendalaman teknologinya yang menjadi kunci,” kata Bebin.

Produsen EV asal AS, Tesla, saat ini berhasil mengungguli bisnis mobil listrik secara global. Padahal perusahaan tidak memiliki pengalaman di dunia otomotif. Cina dan Korea Selatan telah unggul dalam produksi kendaraan listrik berbiaya rendah. “Kenapa tidak bekerja sama dengan perusahaan ini?” ucapnya. 

Opsi akuisisi tersebut juga sangat disayangkan. Pemerintah seolah tak melihat riset mobil listrik yang perguruan tinggi kerjakan selama hampir 10 tahun, sejak 2012. Molina saat ini sudah berhasil membangun prototipenya.

Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menyebut, produksi mobil listrik terhitung lebih simpel daripada produksi mobil berbahan bakar fosil. 

Pada mobil biasa ada sekitar 1700 sampai 4000 komponen, tergantung kelas kendaraan. Sedangkan kendaraan listrik, hanya tiga komponen penting. “Nomor satu, baterai. Kedua, dinamo elektrik. Lalu, controlling unit. Sudah, sisanya bodi,” kata Yannes. Berkat sedikitnya komponen, produk kendaraan listrik nyaris maintenance free

PLN uji coba mobil listrik rute Jakarta-Bandung. (PLN)

Kisruh Akuisisi StreetScooter

Kritik terkait akuisisi StreetScooter juga sempat diutarakan Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama mengkritik rencana itu. Rencana ini dinilai tidak memiliki basis valuasi yang kuat untuk direalisasikan.

Pertamina, yang memiliki 25% saham di IBC, telah mengajukan proposal akuisisi itu kepada Dewan Komisaris. “Narasinya apa harus beli mobil listrik di Jerman, supaya bisa masuk ke pasar Amerika, Cina? Itu yang saya bilang hati-hati,” kata pria yang akrab disapa Ahok tersebut dalam kanal Youtube-nya, pertengahan bulan lalu. 

Keinginan untuk memperluas pasar di dua negara tersebut, menurut dia, tidak masuk akal. Tesla sudah menguasai konsumen kendaraan listrik di Negeri Abang Sam. Lalu, Wuling Motors mendominasi di Negeri Panda. 

Ahok justru mendorong potensi dalam negeri. Selama ini pengembangan kendaraan listrik domestik sudah dikerjakan oleh Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). “Kalau Anda masih kurang mengerti, kenapa enggak mengajak Wuling, seperti Hyundai menjadi Bimantara,” ucapnya. 

Kritik itu lalu berbalas teguran dari Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. “Yang tidak setuju dengan pikiran besar transformasi ekonomi ini, saya harap agar minggir,” katanya pada Rabu lalu. “Kita mau maju terus sebagai negara. Jangan halangi konsep negara.”

Selama ini upaya pengembangan kendaraan listrik, menurut dia, tidak berjalan mulus. Salah satunya adalah karena ada oknum yang menghalangi. "Kalau mau bangun negara, jangan seperti rumah kos tapi harus berpikir gede. Kalau enggak bangun sendiri atau akuisisi yang sudah punya,” katanya.

Di tengah kisruh tersebut, dua direktur utama perusahaan pelat merah yang tergabung dalam IBC dicopot. Pertama, Direktur Utama MIND ID yang berganti dari Orias Petrus Moedak menjadi Hendi Prio Santoso (sebelumnya Direktur Utama Semen Indonesia).

Yang teranyar, pada awal pekan ini Zulkifli Zaini dicopot dari jabatan Direktur Utama PLN. Penggantinya adalah Darmawan Prasodjo yang sebelumnya menjadi Wakil Direktur Utama PLN. 

Reporter: Amelia Yesidora, Maesaroh