Indonesia diganjar sebuah penghargaan 'prestisius': Climate Bonds Awards 2021, karena sukses menjadi penerbit sukuk hijau alias green sukuk terbesar di dunia. Sepanjang tahun lalu, nilai penerbitannya US$ 750 juta, setara Rp 10,8 triliun (kurs Rp 14.400) untuk mendanai aneka proyek yang mendorong mitigasi iklim, pelestarian keanekaragaman hayati, termasuk energi, hingga sektor transportasi.
Selain pengakuan internasional atas pengembangan sektor keuangan berkelanjutan, penghargaan tersebut mencerminkan konsistensi Indonesia merintis instrumen keuangan hijau secara mandiri di pasar emerging market. Sebelum Climate Bonds Award, penerbitan green sukuk oleh pemerintah sudah mengantongi 12 penghargaan lain. Capaian itu terhitung sejak instrumen investasi hijau tersebut pertama kali dirilis pada 2018.
Indonesia pertama kali menjual green sukuk pada Februari 2018, sekaligus merupakan negara pertama di Asia. Kala itu, dana yang dihimpun mencapai US$3 miliar. Pembeli surat utang itu dari dalam negeri dan mancanegara: investor Timur Tengah, Malaysia, Amerika Serikat hingga Eropa.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan tren minat investor terhadap green sukuk Indonesia terus meningkat. Itu terbukti dengan kenaikan porsi dana "hijau" yang diinvestasikan di green sukuk Indonesia.
Dia memaparkan, porsi dana hijau yang diinvestasikan terus meningkat dari 29% pada 2018, bertumbuh menjadi 29,4% pada 2019. Setahun kemudian, porsinya menjadi 34%, dan pada tahun lalu mencapai 57%. "Investor tidak hanya datang dari green investor (mereka yang hanya berinvestasi di green instrument), tapi juga konvensional investor," kata Luky kepada Katadata, Jumat (15/4).
Investor konvensional adalah investor yang mendedikasikan dana khusus untuk ditanamkan di instrumen-instrumen keuangan green. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap kelestarian lingkungan.
Luky juga mengingatkan, pada tahun lalu pemerintah Indonesia tidak hanya berhasil memperoleh 57% partisipasi green fund, melainkan juga memperpanjang jangka waktu surat utang itu dari lima tahun ke 30 tahun.
"Ini membuktikan kepercayaan investor terhadap pengelolaan dana hasil penerbitan green sukuk, sesuai yang diperjanjikan dalam green framework," ujarnya.
Indonesia telah mempublikasikan laporan audit "Green Impact Report tiga kali, dan mendapatkan green assurance dari tiga lembaga auditor independen, yaitu KPMG, PricewaterhouseCoopers atau PWC dan Ernst & Young alias EY.
Penerbitan sukuk hijau secara reguler turut membuat Indonesia mendapatkan imbal hasil terendah di seluruh obligasi global dan sukuk global pada 2021, yaitu 1,55% untuk tenor lima tahun, 2,55% tenor 20 tahun dan 3,5% untuk tenor 30 tahun.
"Pemerintah terus berupaya meningkatkan strategi dengan menerbitkan inovatif dan creative financing," kata Luky.
Beberapa inovasi tersebut, seperti menerbitkan green ritel sukuk pertama di dunia. Hingga kini, pemerintah sudah tiga kali menerbitkan sukuk hijau ritel yakni ST006, ST007, ST008, yang diklaim sangat diminati investor milenial. Di samping itu, tahun lalu Kemenkeu melakukan perluasan green framework menjadi SDGs framework, mencakup green sosial dan blue financing.
Pemerintah telah menyusun SDGs Government Securities Framework alias SDGs Framework, yang mendapatkan Second Party Opinion dari CICERO dan IISD. Kerangka kerja baru tersebut merupakan pengembangan dari Green Bond dan Green Sukuk Framework yang diterbitkan 2018.
Tepatnya September 2021, pemerintah pertama kali menerbitkan Surat Utang Negara alias SUN, Sustainable Development Goals (SDG) dalam mata uang asing Euro dengan format SEC-Registered Shelf Take-Down.
Transaksi itu menjadi salah satu penerbitan SDG bond konvensional pertama di Asia. Dana hasil penerbitan SDG bond digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang masuk kualifikasi Eligible SDGs Expenditures dalam SDGs Framework. Upaya tersebut sejalan dengan agenda SDGs target 2030, dengan menetapkan berbagai kebijakan dan program pembangunan.
Seluruh Surat Berharga Negara (baik Green maupun SDG) yang diterbitkan berdasarkan SDGs Framework itu sejalan dengan standar internasional termasuk International Capital Market Association (ICMA) principles.
Butuh Dana Superjumbo
Pemerintah memang harus kreatif dan agresif menggali sumber-sumber pendanaan untuk membiayai dampak perubahan iklim dan menetralkan emisi karbon. Pasalnya, kebutuhan dana untuk mewujudkan penurunan emisi karbon berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% hingga tahun 2030 sangat besar, yakni Rp 3.779,63 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun.
Target agresif penurunan emisi karbon hingga 41% pada tahun 2030 juga dibidik, namun butuh bantuan internasional untuk merealisasikannya.
Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto mengatakan kebutuhan dana jumbo tersebut tidak mungkin semuanya harus dibiayai oleh pemerintah. Pasalnya, pendanaan dari pemerintah sangat terbatas.
Berdasarkan perhitungannya, pendanaan yang berasal dari pemerintah tidak lebih dari 34% setiap tahun. "Tinggal hitung saja 34% dari Rp 3.779 triliun, kekurangannya itu yang harus didorong dari non-government," kata Joko dalam Webinar Investasi Energi Baru dan Terbarukan dalam Pengembangan Biomassa di Indonesia, Rabu (16/2).
Karena itu, diperlukan pendanaan dari nonpemerintah. Misalnya, sumber pendanaan dari sektor swasta, perbankan, masyarakat, hingga mitra kerja sama internasional baik bilateral dan multilateral.
Salah satu kebijakan untuk menggali pendanaan hijau dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau OJK melalui Peraturan OJK No.60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan alias green bond.
Namun, sejak POJK tersebut dirilis tahun 2017, baru satu perusahaan yang menerbitkan green bond yaitu PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp 500 miliar pada 2018. Dana yang diperoleh untuk membiayai proyek transportasi ramah lingkungan, yakni LRT Jabodetabek. Selain itu, proyek energi terbarukan seperti PLTS Lubuk Gadang dan PLTS Tunggang Bengkulu.
"Ada beberapa hal yang menyebabkan belum berkembangnya green bonds di Indonesia," kata Direktur PT Pemeringkat Efek Indonesia atau Pefindo, Hendro Utomo kepada Katadata, Rabu (13/4).
Pertama, biaya penerbitan yang lebih mahal dan waktunya panjang karena membutuhkan verifikasi pihak ketiga, seperti ahli lingkungan. Selain itu, ada kewajiban menyusun laporan tahunan green bonds.
Hendro mengatakan, hal tersebut dipandang korporasi kurang sepadan dengan insentif yang diterima saat menerbitkan green bonds.
Kedua, investor surat utang Indonesia masih mengutamakan faktor finansial dan risiko kredit, dibandingkan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan. Itu termasuk minat untuk berinvestasi pada instrumen green bonds.
"Hal ini juga ditambah dengan belum adanya regulasi yang memadai untuk memberikan insentif dalam berinvestasi di green bonds," katanya.
Faktor ketiga, terbatasnya proyek terkait pelestarian lingkungan, sebagai underlying project green bonds.
Hendro memandang, minat korporasi menerbitkan green bonds besar, namun terkendala tiga tantangan tersebut. Sektor usaha yang berpotensi menerbitkan green bonds adalah sektor terkait lingkungan, seperti energi terbarukan, pengelolaan limbah, pengembang properti, transportasi ramah lingkungan, atau industri keuangan yang akan menggunakan dana hasil green bond untuk membiayai proyek-proyek terkait mengurangi emisi karbon.
Berdasarkan data Pefindo per 31 Maret 2022, outstanding green bond hanya sebesar Rp 248,5 miliar, atau 0,05% dari total outstanding surat utang korporasi sebesar Rp 509,83 triliun.
Pefindo memperkirakan penerbitan green bond tahun ini akan lebih bergairah, didukung minat pasar yang mulai menguat. Apalagi, pemerintah semakin memperhatikan aspek lingkungan dan green financing, seturut dengan OJK yang sudah memiliki peta jalan keuangan berkelanjutan tahap II, tahun 2021-2025.
Awal tahun ini, OJK meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia untuk mendukung pengembangan ekonomi hijau di Tanah Air. Taksonomi ini untuk memisahkan sektor dan subsektor usaha yang ramah lingkungan, kurang ramah lingkungan, dan tidak ramah lingkungan.
Taksonomi Hijau merupakan mandat di Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025). Tujuannya meningkatkan aliran modal dan pembiayaan, menuju kegiatan yang lebih ramah lingkungan secara bertahap. Dalam penerapannya, OJK membikin sistem traffic light untuk mengklasifikasikan sektor ekonomi, yakni hijau, kuning dan merah.
"Secara khusus, warna kuning merepresentasikan aspek transisi menuju sektor yang menganut prinsip-prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan," kata Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK Enrico Hariantoro kepada Katadata.
Adanya standarisasi yang reliable dan tervalidasi untuk masing-masing subsektor ekonomi akan memudahkan pemangku kepentingan dalam menentukan perbedaan sektor hijau dan nonhijau.
Taksonomi Hijau mencakup pengklasifikasian 919 subsektor ekonomi, dari total 2.733 subsektor ekonomi sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). Semuanya dijangkarkan pada sektor-sektor prioritas penanganan perubahan iklim dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC), yakni energi, kehutanan, limbah, pertanian, dan industrial processes and product use (IPPU).
Pendanaan Perbankan
Ketua Bidang Hukum Perbanas Fransiska Oei mengatakan perbankan umumnya sudah mencantumkan rencana aksi keuangan berkelanjutan alias RAKB untuk setahun hingga lima tahun. Namun, belum ada kewajiban batasan porsi portofolio hijau dalam rencana tersebut. "Itu bukan regulasi (taksonomi hijau), itu guidance, definisi green financing atau berkelanjutan," ujarnya.
Meski begitu, Fransiska mengatakan perbankan serius dan bertahap memenuhi komitmen mendukung program pemerintah, termasuk pembiayaan energi baru terbarukan alias EBT.
Di sisi lain, Perbanas menilai proyek-proyek EBT masih memiliki risiko tinggi bagi perbankan, lantaran cenderung bersifat jangka panjang. Selain itu, proyek yang bersifat renewable energy juga relatif mahal, sehingga dari sisi kredit berisiko tinggi.
"Kami punya kewajiban memastikan kredit tetap feasible dan dapat dikembalikan. Kalau mahal, mereka bisa tidak kembalikan? Karena kita bank, harus memastikan uang kita kembali," ujarnya.
Director of IBG Bank DBS Indonesia Kunardy Lie mengatakan, Bank DBS secara grup menaikkan target pembiayaan berkelanjutan menjadi 50 miliar dolar Singapura hingga 2024. DBS Indonesia juga telah meluncurkan lebih dari enam obligasi ritel dengan nilai mencapai 16,26 juta dolar Singapura dan masih akan terus diperbesar.
Director of CBG Bank DBS Indonesia Rudy Tandjung juga mengatakan, pihaknya terus mengamati arahan pemerintah untuk meningkatkan aktivitas green banking. Hal itu merujuk pada Sustainable and Transition Finance Framework and Taxonomy.
"Secara insentif, kami rasa keuntungan secara finansial bagi kami pelaku dan juga calon nasabah, tentu saja akan membantu," katanya.
Sebagai contoh, untuk pelaku seperti perbankan, terdapat insentif pajak saat menerapkan prinsip green banking. "Sehingga para pelaku tidak hanya melakukan ini sekadar seperti sedang CSR saja," kata Kunardy dan Rudy kepada Katadata.co.id.
Anomali Pendanaan Perbankan
Namun, tantangan pendanaan hijau masih sangat besar. Mengacu data terbaru yang dirilis koalisi organisasi nirlaba, Forests and Finance, investor di seluruh dunia hingga tahun lalu menyimpan US$ 41,5 miliar dalam bentuk obligasi dan saham di banyak korporasi yang berisiko merusak hutan.
Rahmawati Retno Winarni dari Forests and Finance mengatakan perbankan global sejak Perjanjian Paris 2015 hingga tahun lalu 2020 telah menggelontorkan kredit sebesar US$ 238 miliar untuk 186 perusahaan penghasil komoditas, yang mengancam hutan di seluruh dunia.
Di Asia Tenggara, nilainya mencapai US$ 26,6 miliar. Investornya beragam, mulai dari pemerintah, manajer aset, hingga dana pensiun di berbagai negara, seperti Malaysia, Amerika Serikat, Jepang Korea Selatan, Singapura, serta Hong Kong.
Upaya menggali sumber-sumber pendanaan hijau memang harus sejalan dengan komitmen berbagai pihak untuk mengatasi perubahan iklim dan menetralkan emisi karbon. Survei Katadata Insight Center atau KIC periode 26 Februari 2022 hingga 6 Maret 2022 menunjukkan 39% dari total 4.821 responden menilai skala prioritas pemerintah Indonesia terhadap energi terbarukan mencukupi.
Sedangkan 33,8% dari total responden menganggap masih rendah, dan 16,3% menganggap masih sangat rendah. Adapun yang menganggap sudah sangat tinggi hanya 3,9% dari total responden.
Di sisi lain, 49,9% responden menilai pemerintah tidak menaruh prioritas pada pengembangan energi terbarukan. Tantangan lain adalah 39,3% responden menilai Indonesia belum memiliki teknologi dalam pengembangan dan pemanfaatan EBT.