Sengketa antara Indonesia dan Uni Eropa (UE) terkait larangan ekspor bijih nikel di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membayang-bayangi industri hilirnya di dalam negeri. Asosiasi penambang mengkhawatirkan bahwa cadangan komoditas ini akan semakin tertekan jika pemerintah kembali membuka keran ekspor.
Setidaknya ada 31 pabrik di Indonesia yang mengolah bijih nikel menjadi nickel pig iron. Materi ini merupakan salah satu jenis feronikel untuk memproduksi baja tahan karat (stainless steel).
Meidy Katrin Lengkey, sekretaris jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), mengatakan bahwa industri di dalam negeri membutuhkan pasokan sebesar 120 juta ton bijih nikel pada tahun ini. Pada 2026, kebutuhannya diproyeksikan akan melonjak 108,33% ke 250 juta ton.
Meidy mengatakan, bahwa cadangan bijih nikel Indonesia diragukan dapat memenuhi kebutuhan industri domestik, apalagi jika harus memenuhi permintaan dari luar negeri pada saat yang sama.
(Baca: Pasokan Industri Domestik Terancam Defisit jika RI Kalah Gugatan Nikel)
Larangan ekspor bijih nikel yang berlaku sejak 2020 telah mendorong Uni Eropa (UE) untuk menggugat Indonesia ke WTO. UE juga menuduh pemerintah telah memberikan subsidi kepada industri domestik. WTO berencana untuk menerbitkan laporan finalnya terkait sengketa ini pada triwulan keempat 2022, menurut rencana yang terakhir diumumkan pada November 2021.
Pada 2019, sebelum pemerintah menutup keran ekspornya, nilai penjualan bijih nikel ke luar negeri mencapai US$1,09 miliar. Pasar utamanya mengarah ke Tiongkok, Jepang, dan Ukraina..
UE sebetulnya tidak mengandalkan Indonesia sebagai pemasok bijih nikel. Namun, segala hambatan ekspor yang diterapkan oleh Indonesia, yang merupakan negara produsen terbesar, bisa memengaruhi harga komoditas ini di pasar internasional.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengatakan bahwa “tidak masalah” jika Indonesia kalah dalam sengketa perdagangan tersebut karena industri hilir nikel “sudah jadi.”