Selama sepekan terakhir pemerintah terus menyinggung soal beratnya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk menopang subsidi bahan bakar minyak (BBM). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut anggaran Rp 502,4 triliun tidak akan cukup menutup subsidi BBM tahun ini.
Pasalnya, kuota volume BBM bersubsidi mulai menipis. Untuk Pertalite, sejak Juli 2022 konsumsinya mencapai 16,8 juta kilo liter, sedangkan sisa kuotanya 6,2 juta kilo liter. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan volumenya hingga akhir tahun mencapai 28 juta kilo liter.
Beberapa hari kemudian Presiden Joko Widodo menyinggung hal serupa. Anggaran subsidi bahan bakar minyak sudah terlalu besar. Di negara lain, harga BBM sudah naik seiring lonjakan harga minyak mentah dunia.
“Apakah Rp 502 triliun bisa kuat kita pertahankan? Kalau bisa, alhamdulillah. Artinya, rakyat tidak terbebani. Tapi kalau APBN tidak kuat bagaimana?” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (12/8). Pada 22 Juni lalu, ia juga mempertanyakan hal serupa.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta masyarakat bersiap apabila pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM. Hitungannya, jika harga minyak mentah naik ke level US$ 105 per barel dengan asumsi kurs RP 14.740 per dolar AS, maka subsidi BBM capai Rp 600 triliun.
Angka tersebut setara 25% dari total pendapatan APBN. “Ini tidak sehat,” ucap bahlil di Kantor Kementerian Investasi pada Jumat lalu.