Advertisement
Advertisement
Analisis | Nasib Investasi Perikanan vs Nelayan Kecil dalam Omnibus Law Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Nasib Investasi Perikanan vs Nelayan Kecil dalam Omnibus Law

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Kemudahan izin berusaha dalam Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menggenjot investasi perikanan. Namun, beberapa pasal bisa juga berdampak buruk kepada nelayan kecil. Misalnya perubahan definisi nelayan kecil dan kemudahan investasi asing lewat pemanfaatan pulau kecil dan perairan.
Cindy Mutia Annur
15 Oktober 2020, 17.38
Button AI Summarize

Nilai tukar nelayan dan pembudidaya ikan (NTNP) yang menjadi indikator kesejahteraan nelayan, juga terus naik dari Juli sampai September 2020. Pada bulan lalu nilainya sebesar 100,65. Namun, tahun ini nilai sempat di bawah 100 pada April-Juni. 

Meski demikian, realisasi investasi perikanan menurun pada Juni 2019 menjadi 3,19 triliun dari 4,89 triliun di tahun sebelumnya atau -53%. Perlambatan pertumbuhan sudah terlihat dari 2017 yang minus 5% dan pada 2018 hanya tumbuh 1%. Salah satu kendala utamanya, adalah rumitnya perizinan investasi seperti halnya yang disampaikan Menteri Edhy Prabowo.

Sekretaris Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Perikanan (Ditjen PDSPKP) Kementerian KKP Berny A Subki mengatakan, Tiongkok mendominasi realisasi investasi di sektor kelautan dan perikanan. Dominasi ini dibandingkan dengan negara Asia Timur lain seperti Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, dan Taiwan.

Sepanjang semester I 2020, kata Berny seperti dilansir Antara, investasi Tiongkok sebesar Rp550,11 miliar atau 86,05% dari total realisasi investasi negara Asia Timur sebesar Rp639,29 miliar.

Hanya, upaya pemerintah menggenjot investasi perikanan lewat Omnibus Law Ciptaker menciptakan masalah lain. Perubahan definisi nelayan kecil berpotensi mempersulit akses subsidi bahan bakar minyak (BBM) lantaran dikuasai nelayan berskala besar.

Selama pandemi Covid-19 subsidi BBM sudah tersendat, khususnya solar yang digunakan nelayan. Tahun lalu, penyaluran minyak solar mencapai 3,6 juta KL. Sementara pada 2020 hanya tersalurkan 3,1 KL atau berkurang sekitar 500 ribu KL. Wilayah yang paling terdampak pengurangan adalah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

"KNTI saat ini tengah melakukan investigasi dan langkah-langkah advokasi terkait tidak tersalurkannya BBM bersubsidi bagi nelayan kecil yang kuotanya sangat besar setiap tahun," ujar Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Iin Rohimin dikutip dari Republika.co.id  Sabtu (10/10).

Masalah lain dalam Omnibus Law Ciptaker adalah Pasal 17A ayat (1) yang berbunyi: Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut.

KNTI menilai pasal ini berpotensi menjadi ‘karet’ lantaran pemerintah pusat dapat memberikan izin sesuai tafsir dan kebutuhannya tanpa memperhatikan rencana zonasi daerah.

KNTI juga menilai kemudahan penanaman modal asing melalui pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 26A, berpotensi semakin meminggirkan peran dan perlindungan bagi nelayan kecil, tradisional, petambak garam, serta pengelola hasil perikanan skala kecil. Padahal mereka turut berperan dalam menggerakkan ekonomi wilayah setempat.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), nelayan Indonesia pada 2017 sejumlah 2,7 juta orang. Pada 2019 jumlahnya menurun di angka 2,2 juta. Melalui sistem Satu Data milik pemerintah, per 23 Maret 2020 jumlahnya tercatat sebanyak 1.459.874 orang.

Mayoritas nelayan pun tergolong masyarakat miskin. Dalam daftar Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) per Januari 2020, 900 ribu di antaranya adaah nelayan. Jumlah tersebut setara dengan 64% total nelayan pada Maret 2020.

Melihat seluruh hal di atas, pemerintah memang perlu menggenjot investasi perikanan melalui Omnibus Law Ciptaker. Akan tetapi, mesti tetap memperhatikan nasib nelayan kecil yang selama ini masih hidup miskin. Pemerintah sudah semestinya meninjau ulang pasal-pasal yang berpotensi merugikan mereka dan merevisinya bersama DPR.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi