Advertisement
Advertisement
Analisis | Mencari Sosok Cawapres Ideal di Pilpres 2024 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mencari Sosok Cawapres Ideal di Pilpres 2024

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Tingkat elektabilitas tiga kandidat capres masih terpaut tipis. Belum ada satu calon yang mengantongi dukungan di atas 50%. Alhasil, sosok cawapres berperan strategis untuk meraih suara dalam Pilpres 2024. Lazimnya, pasangan cawapres dipilih berdasarkan dikotomi Jawa dan luar Jawa, sipil - militer, atau nasionalis - Islam. Namun saat Pilpres 2009, ketika menggandeng Boediono, SBY mengabaikan dikotomi tersebut dan berhasil memenangkan Pilpres dengan suara sekitar 60%.
Vika Azkiya Dihni
31 Mei 2023, 06.10
Button AI Summarize

Tiga nama memiliki kans paling besar untuk maju sebagai calon presiden (capres) dalam pemilu tahun depan. Setelah Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, akhirnya Ganjar Pranowo resmi dideklarasikan sebagai capres PDI Perjuangan untuk bertarung di gelanggang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Namun siapa calon wakil presiden (cawapres) yang ideal untuk mendampingi mereka? Sampai saat ini, masing-masing bakal capres maupun partai politik yang mengusung mereka belum menentukan nama pendamping jagoannya tersebut. 

Kehadiran sosok cawapres dinilai akan menjadi salah satu penentu kemenangan di Pilpres 2024. Apalagi, persaingan ketiganya akan cukup kompetitif karena keterpautan dukungan yang relatif dekat. Dari berbagai survei, tidak ada satupun kandidat yang meraih suara di atas 50%.

Hasil survei Indikator Politik misalnya, yang melibatkan 1.200 responden secara nasional pada 30 April-5 Mei 2023 menunjukkan, suara Prabowo dan Ganjar berimbang masing-masing 34,8% dan 34,4%. Sementara elektabilitas Anies sebesar 21,8%, dan sisanya 8,9% belum menjawab.

Tidak adanya sosok yang dominan mengindikasikan bahwa masih ada keterbatasan dari ketiga tokoh tersebut dalam mendulang suara pemilih. Kandidat cawapres dinilai bisa mengisi kekurangan para capres dan bisa saling melengkapi. 

“Artinya, mereka membutuhkan cawapres yang bisa mendongkrak hasil elektabilitas,” kata dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis, 25 Mei 2023.

Situasi ini, menurut dia, menunjukkan kontestasi pemilu 2024 juga menjadi medan persaingan cawapres.

Basis Pemilih Berbeda

Baik Ganjar, Prabowo, maupun Anies memiliki basis pemilih yang relatif berbeda. Pendukung Ganjar misalnya, terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. 

Namun Ganjar juga unggul di DKI Jakarta dan Banten, serta Jawa Timur. Di luar Jawa, Gubernur Jawa Tengah itu punya elektabilitas tinggi di Bali, NTB, NTT, serta Maluku dan Papua, tetapi lemah di Sumatera dan Sulawesi.

Berbeda dengan Ganjar, suara Prabowo justru unggul di kebanyakan wilayah luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi yang jadi kelemahan Ganjar. Di Jawa, Prabowo hanya mampu bersaing di Jawa Barat.

Sementara itu, Anies Baswedan cukup kuat di DKI Jakarta dan Banten. Dia juga mampu bersaing di Sulawesi, terpaut tipis dengan Prabowo. Adapun wilayah yang menjadi kelemahan Anies adalah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, serta Bali, NTB, NTT. 

Baik Ganjar maupun Prabowo memiliki basis pendukung dari etnis Jawa, sedangkan Anies relatif banyak pendukung yang berasal dari etnis Sunda dan Minang. Ganjar dan Prabowo pun memiliki basis pendukung non-muslim yang besar dibandingkan Anies. 

Perbedaan basis pemilih dari masing-masing tokoh tersebut menunjukkan kebutuhan pasangan cawapresnya pun berbeda. Selama ini, pasangan capres dan cawapres umumnya didasarkan pada pertimbangan asal daerah, agama, ideologi, hingga latar belakang sipil atau militer. 

Misalnya, jika capresnya dari Jawa, cenderung akan memilih cawapres yang berasal dari luar Jawa. Jika capresnya dari kalangan nasionalis, cawapres dari kalangan Islam. Jika capresnya dari kalangan militer, maka cawapresnya diharapkan datang dari kalangan sipil, dan sebagainya. 

Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional Adib Miftahul mengatakan, faktor identitas juga menentukan bagi partai atau kandidat capres dalam memutuskan calon pendampingnya. 

“Realitas politik sampai hari ini masih mengatakan faktor tersebut penting. Makanya tidak kunjung ditetapkan nama cawapres, ini juga bagian dari menghitung faktor tersebut,” kata dia. 

Sementara menurut Nyarwi, dikotomi Jawa dan non-Jawa sebetulnya sudah tidak menjadi pertimbangan utama. “Namun kalau dilihat dari target elektoral atau basis wilayah pemilih, itu akan relevan pada beberapa pasangan.” 

Karakteristik Cawapres 2024

Nyarwi Ahmad yang juga menjadi Direktur Eksekutif Indonesian Presidentian Studies (IPS), menjelaskan ada beberapa karakteristik cawapres yang dibutuhkan oleh capres di Pilpres 2024.

Pertama, bisa mendongkrak elektabilitas. Hal ini karena dari ketiga kandidat belum ada yang meraih suara signifikan. 

Kedua, memiliki kemampuan untuk saling melengkapi pasangannya, baik dalam memenangkan pertarungan maupun nanti ketika menjalankan tugas pemerintahan. 

Ketiga, dapat diterima partai koalisi. 

Keempat, komposisi basis ideologi. Sosok cawapres yang dibutuhkan ada dua kemungkinan, yaitu yang sejalan dan memperkuat basis ideologi partai pengusungnya. Bisa juga sebaliknya, kombinasi dari basis ideologi yang lebih luas seperti nasionalis-Islam.

Kelima, mampu mendukung atau memobilisasi modal kampanye, baik secara finansial maupun non-finansial. 

Keenam, mampu meyakinkan pemilih muda dan tentu kompatibel dengan pasangannya.

Pilihan Cawapres Ganjar

Sejumlah nama telah digadang-gadang menjadi cawapres. Mereka berasal dari latar belakang dan jejak politik yang berbeda-beda. 

Dari survei Indikator Politik, Sandiaga Uno memiliki tingkat elektabilitas tertinggi. Wilayah dukungannya tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Di luar Jawa, menteri pariwisata dan ekonomi kreatif itu memperoleh banyak dukungan dari Sumatera dan Sulawesi. 

Konsentrasi pendukung Sandiaga di luar Jawa itu bisa menjadi daya tarik dari keterbatasan Ganjar di wilayah tersebut. Dari hasil survei, pasangan ini meraih suara tertinggi di beberapa simulasi tiga pasangan capres-cawapres, meskipun belum mencapai angka lebih dari 50%.

Sosok yang juga memiliki potensi adalah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Ridwan dinilai dapat menutup kekurangan suara Ganjar di Jawa Barat. Namun dari survei diketahui, Kang Emil sapaan akrabnya, kurang mendapatkan dukungan di luar Jawa. 

Nama Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto juga kerap disorongkan untuk mendampingi Ganjar. Namun pasangan ini dinilai kurang merepresentasikan politik Islam.

Selain itu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyorongkan nama Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Nasaruddin Umar. Meskipun tidak pernah muncul di berbagai survei, dia digadang-gadang dipasangkan dengan calon presiden dari PDI Perjuangan itu. 

Megawati menilai Nasaruddin berasal dari NU dan tidak ambisius dalam urusan politik. Duet keduanya akan melahirkan kombinasi nasionalis-religius. 

Nasaruddin adalah Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) masa khidmat 2022-2027. NU adalah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang memiliki basis Islam tradisional. 

Selain faktor agama, Nasaruddin yang juga mantan wakil menteri agama era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga dapat menutup kekurangan Ganjar yang lemah di luar Jawa. Nasaruddin lahir 63 tahun lalu di Ujung-Bone, Sulawesi Selatan. 

“Namun bagaimana pengaruhnya terhadap elektabilitas Ganjar, saya kira itu harus diuji dengan data survei yang kredibel,” ujar Nyarwi.  

Pilihan Cawapres Prabowo

Pada dua kali pilpres sebelumnya, mantan Pangkostrad tersebut dianggap sebagai representasi politik Islam. Kendati begitu, dia tetap dinilai sebagai tokoh nasionalis. Apalagi Partai Gerindra yang didirikannya mengusung nasionalis sebagai ideologi. Selain itu, tak sedikit kalangan yang meragukan tingkat keislaman Prabowo. 

Dengan latar belakang tersebut, tokoh dari kalangan muslim dinilai dapat menjadi pelengkap anak dari begawan ekonomi Indonesia Soemitro Djojohadikusumo tersebut. Menteri BUMN Erick Thohir dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dianggap sebagai calon yang pas. 

Melihat data survei, Erick Thohir dapat mengisi dukungan dari wilayah yang menjadi kekurangan Prabowo, yaitu Bali dan Nusa Tenggara. Tetapi tidak menutupi kekurangan di wilayah Jawa. Sementara Khofifah, memiliki dukungan di wilayah Jawa Timur, serta Maluku dan Papua. 

Namun jika berpasangan dengan Erick elektabilitas Prabowo lebih tinggi ketimbang menggandeng Khofifah. Kemunculan nama Erick di bursa cawapres juga dibarengi dengan keikutsertaannya dalam kaderisasi Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nahdlatul Ulama (NU).

Selain itu, Muhaimin Iskandar juga dikaitkan dengan posisi cawapres mendampingi Prabowo. Muhaimin adalah Ketua Umum PKB yang telah lebih dulu menjalin koalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo. Namun dalam survei elektabilitas ketua umum PKB ini masih jauh tertinggal dibandingkan cawapres lain.

Pilihan Cawapres Anies

Dari ketiga bakal capres, Anies dianggap sebagai sosok religius dan mewakili kelompok muslim. Salah satu sosok yang memiliki peluang untuk mengisi keseimbangan identitas Anies tersebut Agus Harimurti Yudhoyono yang berlatar belakang militer. 

Pasangan ini juga dinilai sebagai gabungan sipil-militer dan nasionalis-islam. Meskipun dari sejumlah survei, AHY tidak signifikan mendongkrak elektabilitas Anies. 

“Representasi yang di hadirkan kepada rakyat itu perpaduan antara identitas suku, agama, sipil militer ini masih kuat,” kata Adib.

Nama lain yang juga sering disebut bakal cawapres untuk Anies adalah Khofifah. Basis Khofifah di Jawa Timur dinilai dapat memperkuat elektabilitas Anies. Khofifah juga dinilai dapat mengambil suara pemilih perempuan dan membuka akses ke NU. 

Di samping itu ada nama Mahfud MD, Menko Polhukam tersebut juga berasal dari NU yang dapat mengisi kekurangan elektoral Anies dari kelompok Islam tradisionalis.

Berkaca dari Pemilu Sebelumnya

Meski aspek ideologi cawapres dianggap penting, tetapi bukan satu-satunya penentu kemenangan dalam palagan Pilpres 2024. Melihat pengalaman pilpres pada periode sebelumnya, para capres juga mengandalkan kekuatan dirinya secara elektoral. Misalnya, pada pemilu 2009 ketika Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Boediono. 

Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani mengatakan, mereka merupakan pasangan capres-cawapres yang sama-sama berasal dari Jawa Timur. SBY adalah politisi yang berasal dari Pacitan, sementara Budiono berasal dari Blitar.

“Secara tradisional, kalau menggunakan istilah politik lama, itu adalah daerah abangan bukan daerah santri yang banyak orang NU,” kata Saiful, dikutip dari siniar di akun Youtube SMRC TV yang tayang 30 Maret 2023.

Pasangan SBY-Boediono merupakan politisi dari kalangan muslim dan subkulturnya sama-sama abangan, bukan berasal dari NU maupun Muhammadiyah. Ketika itu, pasangan tersebut banyak dikritik berbagai pihak karena dianggap memiliki peluang kecil untuk menang.

Kendati demikian, pada akhirnya pasangan SBY-Boediono berhasil menang satu putaran dengan perolehan suara sekitar 60%. Pertimbangan SBY ketika itu karena alasan kompetensi, dan ingin pembangunan ekonomi lebih kuat.

Pengalaman kedua, pada pemilu 2019, ketika Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Tak banyak yang mengira ulama asal Banten itu menjadi cawapres. Meski menang, Ma’ruf Amin justru kurang berpengaruh mengerek suara di kampungnya sendiri, Banten. 

Data ini menunjukkan baik Ganjar, Prabowo, maupun Anies juga harus bersandar pada dirinya sendiri, tidak bisa terlalu bersandar pada wakilnya termasuk faktor ideologis tadi untuk membuat mereka kompetitif dalam Pilpres 2024 nanti.

Editor: Aria W. Yudhistira