Satu dari delapan orang di dunia telah mengunduh aplikasi berbagi video singkat TikTok di ponselnya sepanjang 2020. Jumlah unduhan media sosial buatan Tiongkok ini memang mencapai 934,6 juta hingga November tahun ini, atau sekitar 37% dari total keseluruhan unduhan 2,5 miliar sejak pertama kali mengudara pada 2016.
TikTok melejit bukan semata berkat pengguna yang besar di negeri asalnya. SensorTower menyebutkan jumlah unduhan terbanyak justru dari India, yakni 611 juta dalam jangka waktu sekitar empat tahun (2017 sampai kuartal I-2020). Tiongkok berada di posisi kedua dengan 196,6 juta unduhan. Lalu, Amerika Serikat di posisi ketiga dengan 165 juta unduhan.
Pada periode Januari-Juni tahun ini, jumlah unduhan TikTok melalui Android dan iOS di India dan Amerika Serikat tercatat sebanyak 99,8 juta dan 45,6 juta kali. Di Indonesia, aplikasi ini juga sudah diunduh sebanyak 30,7 juta kali. Para pengguna Indonesia rata-rata menggunakan TikTok selama 29 menit per hari dan menonton 100 video per hari.
Pengguna TikTok paling banyak menonton video hiburan dan tarian (dance) dengan masing-masing 443,3 miliar dan 150,3 miliar kali per Juni 2020. Pengguna juga banyak menonton video-video berkategori prank, olahraga, do it yourself (DIY), kecantikan dan fashion, serta memasak.
TikTok pun kini mulai memepet aplikasi pesaingnya, seperti YouTube dan Instagram. Berdasarkan laporan We Are Social bertajuk “Digital 2020: October Global Statshot Report”, pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) TikTok tercatat sebanyak 689 juta. Aplikasi sama yang khusus digunakan di Tiongkok, Douyin, memiliki jumlah MAU sebanyak 600 juta. Jika keduanya digabungkan, maka jumlah penggunanya lebih besar dari Instagram (1,1 miliar MAU), tetapi belum mengalahkan YouTube (2 miliar MAU).
Kemudian, sebanyak 30-40% pengguna Instagram dan YouTube juga menggunakan TikTok. Angka itu masih lebih rendah dari posisi sebaliknya: jumlah pengguna TikTok yang menggunakan dua platform tersebut mencapai 80-90%.
Meski begitu, TikTok memiliki rata-rata engagement rate di atas Instagram. Riset Influencer Marketing Hub pada 2019 menunjukkan persentasenya di TikTok berkisar antara 5-9% per unggahan, sementara Instagram hanya 1-7% per unggahan. Artinya, interaksi antarpengguna, seperti memberikan like dan komentar, lebih sering terjadi di TikTok.
Selain itu, pendapatan TikTok dari pengeluaran pengguna (user spending) rerata mencapai US$ 103 juta per bulan selama April-November 2020. Pengeluaran pengguna tersebut untuk membeli atau mengirim emoji tertentu. Nilai tersebut lebih tinggi 25% ketimbang YouTube dengan US$ 82 juta per bulan pada periode yang sama.
Pendapatan bulanan TikTok mampu unggul lantaran YouTube tidak menjual emoji. YouTube hanya mengandalkan pemasukan dari iklan dan langganan akun premium yang belakangan baru berlaku.
Keberhasilan TikTok mendunia dalam waktu singkat dan mendesak pasar pendahulunya tak lepas dari dua strategi. Pertama, ByteDance sebagai perusahaan yang menaungi TikTok meluncurkan dua versi aplikasi. Satu untuk pasar lokal Tiongkok untuk menyiasati kebijakan sensor konten yang ketat dari pemerintah, yakni Douyin yang mulai meluncur pada 2016.
Setahun setelah Douyin, ByteDance meluncurkan TikTok untuk pasar global. ByteDance kemudian mengakuisisi Musical.ly, aplikasi serupa berbasis di Shanghai, Tiongkok dengan banyak pengguna di Amerika Serikat. Penulis buku Tech Titans of China Rebecca Fannin mengatakan akuisisi tersebut mampu mengembangkan teknologi dan inovasi pada TikTok, sekaligus menyesuaikan aplikasi itu dengan kebutuhan dan selera pengguna di negara-negara Barat.
“Strategi ini bisa menjadi model baru bagi perusahaan digital lain yang ingin menjangkau pasar global, juga perusahaan Amerika Serikat yang menemukan kendala saat masuk ke pasar Tiongkok,” kata Fannin, seperti dikutip dari Harvard Business Review.
Kedua, TikTok memiliki desain aplikasi yang memudahkan pengguna. Setelah mengunduh TikTok di ponsel, pengguna tidak perlu mem-follow akun orang lain terlebih dahulu. Algoritma aplikasi ini mempelajari preferensi para penggunanya melalui durasi dan interaksi mereka dengan video yang tersedia.
Melansir Vox, YouTube sebetulnya sudah menggunakan cara tersebut, tetapi pengguna memilih TikTok karena memiliki durasi video yang lebih singkat. Dengan begitu pula, lebih banyak data yang diberikan pengguna pada algoritma aplikasi ini sehingga rekomendasi video bisa semakin akurat dan personal.
Tak hanya itu, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) pada TikTok membuat proses mengedit video lebih sederhana dan menyarankan penggunaan musik, tagar, atau filter yang sedang populer.
Pertumbuhan TikTok yang kian pesat membuat Instagram dan YouTube berusaha menjaga pasarnya. Hasil survei GlobalWebIndex pun menunjukkan sebanyak 38% responden menggunakan Instagram untuk menonton video, aktivitas yang sedari awal ditawarkan TikTok.
Karena itu, Instagram dan YouTube merilis fitur serupa TikTok, yakni Instagram Reels pada awal Agustus dan YouTube Shorts pada pertengahan September lalu. Para pengguna kini bisa membuat video berdurasi 15 detik, mengedit, dan mengunggahnya di akun mereka masing-masing. Namun, tanpa desain dan algoritma TikTok, Reels dan Shorts belum tentu mampu mengunggulinya.
Di tengah kejayaannya, TikTok masih harus meyakinkan sejumlah negara soal keamanan data—tidak dibagikan pada pemerintah Tiongkok—dan mencegah terjadinya pemblokiran aplikasi, seperti yang sudah terjadi di India dan masih dalam proses negosiasi di Amerika Serikat. Media sosial ini pun harus mengantisipasi adanya penyebaran misinformasi dan disinformasi dalam konten-konten videonya, yang umum terjadi dalam lanskap media sosial saat ini.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi