Advertisement
Analisis | Dari Nepal hingga Timor Leste: Di Balik Penyebab Demonstrasi Gen Z Dunia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Dari Nepal hingga Timor Leste: Di Balik Penyebab Demonstrasi Gen Z Dunia

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Gelombang protes yang dimotori Gen Z terjadi di banyak negara. Mereka menuntut akuntabilitas dan keadilan sosial di tengah krisis dan tekanan global. Keresahan ini berakar pada kondisi perlambatan ekonomi dan penurunan kualitas demokrasi.
Muhammad Almer Sidqi
14 Oktober 2025, 06.39
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Gelombang demonstrasi yang dipimpin Generasi Z merebak di berbagai belahan dunia. Di Madagaskar, protes yang dipicu seringnya pemadaman listrik dan air berkembang menjadi tuntutan agar Andry Rajoelina, Presiden Madagaskar, mundur. Sedikitnya 22 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 100 orang terluka selama kerusuhan itu terjadi.

Di sisi lain Afrika, kelompok anak muda yang menamakan diri “GenZ 212” di Maroko memobilisasi aksi massa menuntut pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik. Kelompok itu diorganisasi lewat platform Discord, lalu berkembang pesat di Instagram dan TikTok.

Protes juga terjadi di Eropa, Amerika Latin, hingga Asia; mencakup Nepal, Bangladesh, Filipina, Timor Leste, dan Indonesia. Vision of Humanity, lembaga riset perdamaian dan keamanan, mencatat setidaknya ada 10 negara yang mengalami demonstrasi yang dimotori Gen Z selama 2025. 

Meski isu yang diangkat Gen Z dari berbagai negara itu berbeda-beda, Vision mencatat benang merah yang sama: kekecewaan terhadap pemerintahan yang dianggap gagal menyediakan layanan dasar dan mengatasi ketimpangan ekonomi.

Menurut Hossain (2025), dalam The Role of Generation Z in Mass Uprisings in Developing Countries, partisipasi Gen Z dalam berbagai aksi massa menandai babak baru dalam aktivisme sosial-politik anak muda yang menuntut akuntabilitas lebih kuat.

Lahir antara 1996-2012, atau sekarang berumur sekitar 13-29 tahun, generasi paling terdigitalisasi dibanding generasi sebelumnya ini memanfaatkan ruang virtual untuk memperluas gerakan yang cair. Juga tanpa pemimpin formal dan tunggal.

Yang terjadi di Nepal adalah contoh terbaik. Kelompok-kelompok protes Gen Z di sana menggunakan aplikasi Discord untuk mengadakan jajak pendapat virtual yang mengusulkan perdana menteri sementara setelah PM Nepal K. P. Sharma Oli lengser setelah didemo. 

Aksi itu tidak muncul dari ruang hampa. Kesadaran politik Gen Z tumbuh dalam bayang-bayang krisis dan ketidakpastian ekonomi global. Selama tiga dekade terakhir, perekonomian dunia, terutama di negara-negara berkembang, mengalami siklus naik-turun yang tajam.

Data Bank Dunia menunjukkan tiga guncangan besar yang paling memengaruhi generasi ini: krisis finansial Asia 1998, krisis keuangan global 2008, dan pandemi COVID-19 pada 2020. Pola tersebut menunjukkan perlambatan ekonomi yang berulang hampir setiap dekade.

Menurut Hossain, generasi yang lahir dan tumbuh di tengah ketidakstabilan ini mengembangkan kesadaran politik yang khas. Mereka, misalnya, dinilai peka terhadap keadilan sosial-ekonomi, namun juga skeptis terhadap elite kenegaraan. Keterbukaan informasi memang memperluas wawasan mereka, tetapi juga menambah beban mental di tengah dunia yang makin tak pasti.

Tingginya Ketidakpastian

Pola itu tidak berdiri sendiri. Data World Uncertainty Index (WUI) mengindikasikan keresahan yang dialami generasi muda saat ini memang berakar pada situasi dunia yang fluktuatif.

Indeks WUI itu mengindikasikan negara-negara yang menghadapi protes dari generasi mudanya mengalami peningkatan indeks ketidakpastian. Misalnya, Indonesia, Prancis, dan Nepal, yang mencatatkan poin indeks tertinggi sepanjang masa pada kuartal-II 2025.

Untuk diketahui, WUI merupakan indeks yang dikembangkan para ekonom yang terafiliasi dengan International Monetary Fund. Indeks ini dihitung dengan menganalisis seberapa sering kata “uncertainty” (ketidakpastian) dan variannya muncul dalam laporan berkala dari Economist Intelligence Unit (EIU), divisi penelitian dan analisis dari Economist Group. 

WUI tidak hanya mengukur per negara, tetapi juga menyajikan indeks ketidakpastian global dengan memperhitungkan Produk Domestik Bruto (PDB) seluruh negara.

Menurut indeks terbaru ini, ketidakpastian global 2025 telah mencapai titik tertinggi dalam sejarah. Level ini bahkan melampaui poin yang tercatat selama krisis keuangan global 2008, berbagai gejolak perang, dan eskalasi perang dagang AS-Cina jilid pertama pada 2018.

Kenaikan ini terutama dipicu oleh kondisi geopolitik yang tegang, yang terjadi bersamaan dengan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Tarif resiprokal yang dilancarkan Trump, misalnya, drastis mengubah ekonomi dunia. 

Akuntabilitas dan Keadilan

Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami protes yang dimotori Gen Z. Rentetan aksi demonstrasi yang terjadi sepanjang akhir Agustus hingga awal September lalu dipicu oleh isu kesenjangan antara rakyat dan wakil rakyat di parlemen. 

Sebagaimana dicatat Vision of Humanity, generasi muda Indonesia cenderung tidak puas terhadap kinerja elite politik, baik di level parlemen maupun pemerintah. Ini mencakup anggapan terhadap rendahnya akuntabilitas dan gagalnya penyelenggara negara mengatasi ketimpangan ekonomi. 

"Indonesia Gen Z Report 2024" memperkuat klaim tersebut, melaporkan 74% generasi ini tak puas dengan demokrasi di Indonesia. Perlu diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Gen Z adalah kelompok demografis terbesar, mencapai 28% dari total populasi negara ini, sekitar 75 juta jiwa.

Perhatian utama Gen Z tertuju pada isu-isu struktural dan sosial-ekonomi yang mendasar. Mereka peduli pada masalah yang secara langsung memengaruhi kualitas hidup dan keadilan mereka. 

Lebih dari setengah responden, misalnya, menganggap isu ketimpangan sangat mendesak. Masalah disparitas kekayaan dan akses melampaui isu lain. Ini sekaligus menggarisbawahi kegelisahan mereka terhadap kesempatan ekonomi yang tidak setara.

Selain itu, ada dua isu yang melengkapi tiga pilar keprihatinan terbesar Gen Z. Lebih dari separuh menempatkan kesehatan mental sebagai isu yang juga penting. Ini beriringan dengan dorongan atas hak kemanusiaan dan keadilan sosial. 

Mayoritas Gen Z (65%) juga memandang Indonesia yang ideal adalah yang menjunjung kepastian hukum dan sistem antikorupsi. Pilihan ini mengungguli tuntutan akan pelayanan publik yang baik maupun jaminan hak warga negara.

Hal itu mengindikasikan bahwa, bagi Gen Z, akar masalah yang memicu ketidakpuasan mereka bukanlah masalah pelayanan biasa, melainkan integritas yang menyeluruh.

Kemunduran Demokrasi Dunia

Survei dari Friedrich Naumann Foundation (2024), yang melibatkan responden Gen Z di Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Hungaria, dan Polandia, mengungkap adanya paradoks dalam pandangan generasi ini: mereka sangat menjunjung kemanusiaan, tetapi secara kritis mengkhawatirkan kondisi demokrasi saat ini.

Hasil sigi itu menunjukkan sebanyak 88% responden dari kelima negara meyakini segala bentuk hak asasi manusia harus dijamin. Selain itu, lebih dari separuh responden (62%) tetap memegang keyakinan bahwa demokrasi adalah bentuk sistem pemerintahan terbaik.

Namun, keyakinan ideal ini dibayangi kekhawatiran serius. Mereka menilai penindasan yang dilakukan penyelenggara negara merupakan ancaman terbesar kedua buat kemanusiaan. Hal ini menegaskan bahwa, meski percaya pada nilai-nilai demokrasi, Gen Z menganggap kegagalan akuntabilitas dan penyalahgunaan kekuasaan sebagai ancaman nyata.

Kepedulian terhadap perbaikan sosial-politik ini tidak terbatas di Eropa dan Asia. Di Afrika Selatan, mereka menjadi salah satu kekuatan pendorong utama di balik hasil Pemilu 2024, di mana Partai Kongres Nasional Afrika (ANC) kehilangan mayoritas kursinya di parlemen. 

Itu terjadi setelah mereka secara masif menyuarakan tuntutan perbaikan layanan publik dan pengentasan korupsi melalui platform X. Masalahnya, tuntutan itu tak digubris. Imbasnya signifikan. Untuk pertama kalinya sejak era apartheid, ANC tak lagi berkuasa sendirian.

Kekhawatiran ini sebetulnya memiliki landasan faktual yang kuat dalam tren politik global. Dalam satu dekade terakhir, dunia justru mengalami kemunduran kualitas demokrasi yang kentara. 

Data Indeks Demokrasi dari Economist Intelligence Unit (EIU) yang diolah Katadata menunjukkan negara dengan kategori rezim otoritarian melonjak dari 51 menjadi 61 dalam satu dekade terakhir. Lonjakan ini berasal dari negara-negara yang merosot dari rezim hibrida dan demokrasi cacat.

Fakta bahwa jumlah negara berkategori demokrasi utuh stagnan, sementara otoritarianisme meluas, menunjukkan bahwa yang dikhawatirkan anak muda saat ini valid. Kemunduran demokrasi benar-benar menjadi pola dominan dalam peta politik dunia.

Editor: Aria W. Yudhistira


Buka di Aplikasi Katadata untuk pengalaman terbaik!

icon newspaper

Tanpa Iklan

Baca berita lebih nyaman

icon trending

Pilih Topik

Sesuai minat Anda

icon ai

Fitur AI

Lebih mudah berbagi artikel

icon star

Baca Nanti

Bagi Anda yang sibuk