Advertisement
Analisis | Alarm Bahaya Deforestasi di Kalimantan dari Bencana Banjir - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Alarm Bahaya Deforestasi di Kalimantan dari Bencana Banjir

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Kalimantan Selatan kehilangan 794 ribu hektare lahan tutupan pohon pada periode 2001-2019. Dampaknya, lahan serapan air hujan menyusut, sehingga mendatangkan bencana banjir di awal tahun ini.
Andrea Lidwina
21 Januari 2021, 11.21
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Banjir bandang melanda Kalimantan Selatan pada awal 2021. Genangan air terluas di Barito Kuala yang mencapai 60 ribu hektare. Kejadian ini menelan 15 korban jiwa dan merugikan 296 ribu penduduk hingga 17 Januari 2021.

Melansir Antara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat curah hujan di Kalimantan Selatan sebesar 461 mm selama 9-13 Januari 2021. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan sepanjang Januari tahun lalu yang sebesar 394 mm.

Oleh karena itu, volume air yang masuk ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito mencapai 2,08 miliar m3, padahal kapasitas normalnya hanya 238 juta m3. Namun, intensitas hujan ekstrem bukan satu-satunya penyebab banjir bandang tersebut. (Baca: Darurat Sampah di Indonesia)

Berdasarkan hasil analisis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), perubahan penutup lahan di DAS Barito kemungkinan turut memicu banjir paling parah di Kalimantan Selatan ini.

Dalam 10 tahun terakhir, hutan primer yang belum ada bekas tebangan atau gangguan menyusut seluas 13 ribu hektar. Penurunan pun terjadi pada luas hutan sekunder sebesar 116 ribu hektar, sawah 146 ribu hektar, dan semak belukar 47 ribu hektar.

“Sebaliknya, terjadi perluasan area perkebunan yang cukup signifikan sebesar 219 ribu hektar,” tulis lembaga tersebut. (Baca: Posisi Pemerintah dalam Pusaran Bencana Asap di Indonesia)

Sementara itu, data Global Forest Watch menunjukkan Kalimantan Selatan kehilangan 794 ribu hektar lahan tutupan pohon pada periode 2001-2019, dengan 10,4% di antaranya termasuk kawasan hutan primer. Penurunan tertinggi di Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu, masing-masing dengan 266 ribu dan 160 ribu hektar.

Penurunan luas hutan (deforestasi) bisa menyebabkan atau memperparah banjir di Indonesia karena hutan berfungsi menyerap air dari curah hujan tinggi. Forest Watch Indonesia (FWI) dalam laporan Angka Deforestasi sebagai “Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia (2019) menjelaskan jika hutan terganggu, ekosistemnya tidak akan mampu menahan air hujan dalam jumlah besar sehingga aliran yang lolos lebih banyak dibandingkan yang terserap ke dalam tanah, lantas menyebabkan banjir.

Perubahan Hutan Kalimantan Selatan
Perubahan Hutan Kalimantan Selatan (LAPAN)

Deforestasi di Kalimantan Selatan hanya cuplikan kecil dari yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Luas hutan Indonesia terkikis dari 106,4 juta hektar pada 2000 menjadi 82,8 juta hektar tujuh tahun setelahnya.  

Di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara, proporsi hutan bahkan di bawah 20% dari total luas daratan di masing-masing wilayah tersebut. Hanya Papua yang kini punya persentase sebesar 81%, namun itu pun telah menurun sepanjang 20 tahun terakhir. (Baca: Mampukah Food Estate Mengatasi Krisis Pangan di Indonesia?)

Dalam laporan yang sama, FWI mengatakan perubahan kondisi hutan sangat berkaitan dengan pola pemanfaatannya, yang masih didominasi oleh izin-izin yang diberikan pemerintah setidaknya hingga 2017. Misalnya, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPHHK-HA) dan hutan tanaman (IUPHHK-HT), izin usaha perkebunan kelapa sawit, serta izin pertambangan.

“Pendistribusian konsesi perizinan tersebut telah mengkapling-kapling areal hutan dan lahan menjadi wilayah penguasaan pemegang izin,” tulis lembaga tersebut.

Akibatnya, hutan kian habis demi mendukung usaha-usaha pemanfaatan dan meraup keuntungan lebih besar. Luas deforestasi di Indonesia pada periode 2013-2017 tercatat sebesar 5,7 juta hektar. Setengah dari total itu terjadi dalam lahan konsesi, seperti 707,4 ribu hektar akibat tambang dan 586,5 ribu hektar karena kelapa sawit.

Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan akhir tahun lalu bahkan menghilangkan kewajiban pemerintah untuk mempertahankan kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Padahal, ambang batas tersebut bertujuan mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat.

Dalam laporan Tinjauan Lingkungan Hidup 2020, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti banjir bandang Bengkulu, Konawe Utara (Sulawesi Tenggara), dan Sentani (Papua) pada 2019. Ketiga bencana alam yang merugikan puluhan ribu penduduk itu salah satunya juga karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan pertambangan.

Agar bencana tak terus terjadi di masa depan, penting bagi pemerintah lebih selekif dalam memberikan izin dan evaluasi pemanfaatan hutan. FWI mencatat izin pemanfaatan hutan (dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan penggunaan lahan (dari Kementerian ATR/BPN) masih timpang pada 2019. Misalnya, di Kalimantan, sebanyak 31,6 juta hektar dibagikan pada korporasi, sedangkan hanya 742,2 ribu hektar untuk masyarakat melalui perhutanan sosial.

Kemudian, WALHI merekomendasikan pemerintah untuk meninjau ulang perizinan yang telah dikeluarkan dan menghentikan praktik atau operasional usaha yang bisa merusak lingkungan dan menyebabkan bencana.

Selain itu, perlu mempercepat penanaman kembali atau reforestasi daripada defoestasi. Reforestasi yang seluas 183,4 ribu hektar masih tertinggal tiga kali lipat dari deforestasi pada 2017. Padahal, langkah ini mampu menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati serta menurunkan efek gas rumah kaca.

Deforestasi mungkin bukan penyebab tunggal banjir seperti di Kalimantan Selatan dan daerah lainnya, tapi kejadian tak akan separah sekarang jka hutan dalam kondisi optimal dan mampu melakukan fungsi penyerapan air hujan.

Kejadian di Kalimantan Selatan sudah sepatutnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mempercepat dan menggalakkan reforestasi demi mengembalikan hutan Indonesia yang gundul, alih-alih sekadar membebaskan izin pemanfaatan lahan untuk kepentingan bisnis.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi