Wacana tax amnesty kembali digulirkan. Padahal kebijakan pemberian ampunan besar-besaran kepada wajib pajak itu belum genap lima tahun diberikan. Pemerintah berencana memasukkan rencana tersebut ke dalam revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada tahun ini.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Presiden Joko Widodo sudah mengirim surat ke DPR untuk meminta pembahasan rancangan regulasi tersebut. “Kita tunggu pembahasan dengan DPR," ujar dia dalam diskusi virtual pada Rabu, 19 Mei 2021.
Jika disepakati, tax amnesty ini merupakan kali kedua dalam sejarah Indonesia, dan dalam periode pemerintahan yang sama. Tax amnesty jilid I berlangsung pada 2016-2017. Ketika itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, salah satu tujuan program tersebut adalah untuk menarik dana warga negara Indonesia (WNI) yang ada di luar negeri.
Selain itu, tax amnesty diharapkan mampu meningkatkan basis perpajakan nasional, sehingga dapat menaikkan penerimaan pajak. Pada 2016, rasio penerimaan pajak tercatat hanya 10,31%, turun 0,4% dibandingkan tahun sebelumnya.
“Juga untuk mengurangi pengangguran, mengurangi kemiskinan, serta memperbaiki ketimpangan,” kata Bambang sebagaimana dikutip dari laman Kementerian Keuangan.
Pada kenyataannya, target tak tercapai. Tax amnesty jilid I memang berhasil mencatat deklarasi aset 972.530 wajib pajak senilai Rp 4.719 triliun dari target Rp 4.000 triliun. Rinciannya, pelaporan harta dari dalam negeri sebesar Rp 3.687 triliun, sementara dari luar negeri Rp 1.032 triliun hingga 31 Maret 2017.
Namun dari target Rp 1.000 triliun dana repatriasi atau pengembalian dari luar negeri, pemerintah hanya mampu menari Rp 147 triliun.
Tak hanya itu, tax amnesty juga tak efektif menaikkan rasio pajak. Berdasarkan data Ditjen Pajak, rasio pajak pada 2017 sebesar 9,89% lebih rendah 0,47% dibandingkan 2016. Angkanya kemudian naik menjadi 10,24% pada 2018, tapi kembali menurun menjadi 9,76% dan 8,94% pada 2019 dan 2020.
“Setelah program tax amnesty jilid I, saya belum melihat peningkatan kinerja perpajakan yang dijanjikan pemerintah. Kita bisa lihat rasio pajak terhadap PDB yang dalam beberapa tahun terakhir itu sebenarnya masih relatif rendah,” kata Yusuf Rendy Manilet, ekonom Center of Reform on Economics (CORE), ketika dihubungi Katadata.co.id pada Senin, 24 Mei 2021.
Sementara dari sisi kepatuhan pajak terus meningkat pasca-program tax amnesty. Meski demikian, besarannya masih di bawah target pemerintah maupun standar yang dipatok Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 85%.
Berkaca dari kinerja sektor perpajakan tersebut, Yusuf menilai pemerintah perlu mempertimbangkan ulang rencana tax amnesty jilid II karena akan berpotensi menemui kegagalan yang sama. Hal ini mengingat psikologi pembayar pajak akan terganggu lantaran kebijakan tersebut belum lama dilakukan.
Menurutnya, para pembayar pajak bisa saja menunggu pemerintah menerbitkan kembali kebijakan tax amnesty di masa mendatang, ketimbang harus membayarkan kewajibannya pada saat ini. ”Jangan sampai dengan adanya tax amnesty jilid II justru masyarakat tidak antusias lagi karena mereka menilai tidak perlu buru-buru ikut program ini,” kata Yusuf.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pemberian tax amnesty jilid II juga rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara. Dia khawatir jika orang atau korporasi yang melakukan kejahatan keuangan bisa memasukkan uangnya ke Indonesia atas nama pengampunan pajak.
“Apalagi saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi Covid-19,” kata Bhima.
Program pengampunan pajak ini pun dinilai lebih menguntungkan pengusaha kelas atas. Ini terlihat dari peserta tax amnesty jilid I yang didominasi wajib pajak non-usaha mikro kecil menengah (UMKM), baik orang pribadi maupun badan.
Menurut Bhima, pemerintah sudah banyak memberikan insentif pajak kepada para pengusaha kelas atas. Misalnya, penurunan tarif PPh badan hingga insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk pembelian mobil sebesar 0%. Dari sini, dia menilai pemerintah tak perlu lagi menerapkan tax amnesty.
Jika tetap dilakukan, Bhima menilai ketimpangan antara orang kaya dan miskin akan semakin besar. “Apalagi bagi masyarakat umum mau dinaikkan pajak PPn-nya,” kata Bhima.
Dibandingkan menerapkan tax amnesty jilid II, pemerintah disarankan fokus mengejar para wajib pajak yang belum patuh. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan basis data yang berasal dari tax amnesty jilid I. Pemerintah juga dapat memanfaatkan data pertukaran pajak antarnegara atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani masih belum menjelaskan lebih lanjut terkait wacana tax amnesty jilid II. Menurutnya, hal tersebut akan didiskusikan dalam forum pembahasan RUU KUP.
“Mengenai nama tax amnesty, sunset policy dan lain-lain, nanti kita bahas di (revisi) KUP,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Senin, 24 Mei 2021.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah saat ini bakal berfokus untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang menjadi peserta tax amnesty jilid I. Hal tersebut dilakukan salah satunya berbekal data AEoI sejak 2018.
Pemerintah juga akan memberikan kesempatan bagi wajib pajak yang belum patuh untuk mengikuti program pengungkapan aset sukarela dengan tarif pajak PPh final. Ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017.
“Kami akan lebih berfokus bagaimana meningkatkan compliance tanpa menciptakan perasaan ketidakadilan. Kami akan terus jaga, baik dalam kerangka tax amnesty maupun dari sisi compliance facility yang kami berikan,” katanya.
Dia pun meminta DPR untuk mendukung arah reformasi administrasi perpajakan. Hal tersebut melalui penghentian penuntutan pidana kepada wajib pajak dan menggantinya dengan sanksi administratif. “Jadi fokusnya lebih kepada revenue dan kerja sama dengan mitra-mitra di dalam penagihan perpajakan kita,” ucapnya.
Dalam unggahan di Instagram pada 22 Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut telah menerima lebih dari 1,6 juta informasi financial account dari berbagai negara dengan nominal mencapai € 246,6 miliar. “Idealnya dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya,” kata dia.
Editor: Aria W. Yudhistira