Dua dekade pasca-krisis ekonomi 1998, tingkat kesenjangan ekonomi di tanah air semakin lebar. Tren peningkatan pendapatan kelompok masyarakat ekonomi atas melesat cepat ketimbang kelompok terbawah yang tumbuhnya sangat lamban.
Data World Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa rata-rata kekayaan yang dimiliki kelompok 50% terbawah hanya sebesar Rp6,7 juta pada 2021. Sementara kelompok masyarakat 10% teratas sebesar Rp457,9 juta dan kelompok 1% teratas sebesar Rp2,25 miliar.
Secara proporsi, kelompok 50% terbawah hanya memiliki 4,48% dari total kekayaan rumah tangga nasional pada 2021. Proporsi itu sedikit turun dibandingkan pada 2000 yang tercatat 4,79%.
Sedangkan kelompok masyarakat 10% teratas menguasai 61,3% pada 2021, lebih tinggi dibandingkan dua dekade terakhir sebesar 58,7%. Begitu pula pada kelompok 1% teratas yang menguasasi 30,2% dari total kekayaan rumah tangga nasional pada 2021, lebih tinggi dari sebelumnya 25,8%.
Kekayaan rumah tangga tersebut meliputi total seluruh aset finansial (termasuk saham dan surat berharga lainnya) serta aset nonfinansial (perumahan) yang dimiliki rumah tangga Indonesia. ((Infografik: Masalah Besar Ketimpangan Ekonomi di Indonesia)
"Sejak tahun 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah," tulis World Inequality Report 2022.
Situasi ini selaras dengan tingkat pendapatan yang jaraknya menjauh sejak krisis 1998. Pada 2021, tingkat pendapatan kelompok 50% terbawah rata-rata hanya Rp17,1 juta. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada kelompok masyarakat 10% teratas yang sebesar Rp331,1 juta dan 10% teratas yang Rp1,3 miliar setahun.
Laporan tersebut menunjukkan rasio kesenjangan pendapatan di Indonesia antara kelompok 10% teratas dan 50% terbawah sekitar 1 banding 19. Ini berarti masyarakat kelas ekonomi teratas memiliki rata-rata pendapatan 19 kali lipat ketimbang kelas ekonomi terbawah, meningkat dibandingkan dua dekade lalu yang hanya 11 kali.
Pertumbuhan Ekonomi dan Meningkatnya Ketimpangan
Krisis moneter 1998 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok, yang berpengaruh pada distribusi pendapatan. Krisis kala itu sempat menurunkan ketimpangan di Indonesia karena berdampak signifikan terhadap kalangan ekonomi kelas atas yang pendapatannya ikut turun.
Seiring berakhirnya krisis dan pemulihan ekonomi, ketimpangan meningkat pesat. Menurut Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi yang ada lebih dinikmati oleh 20% penduduk terkaya daripada masyarakat umum lainnya.
Hal Hill, peneliti dari Arndt Corden Department of Economics Australian National University, Canberra mengungkapkan bahwa setelah krisis 1998, konsumsi rumah tangga menunjukkan pertumbuhan yang positif. Ini menunjukkan adanya penurunan kemiskinan.
“Namun tidak dengan ketimpangan. Ketimpangan justru meningkat karena ekonomi dikuasai oleh kelompok berpenghasilan lebih tinggi,” tulis Hal Hill dalam artikel berjudul “What’s Happened to Poverty and Inequality in Indonesia over Half a Century?”
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rasio gini Indonesia pada September 2021 mencapai 0,38. Rentang pengukuran rasio gini berada di antara 0 sampai 1. Semakin angkanya mendekati 1, maka tingkat ketimpangan diasumsikan semakin tinggi.
Selama periode 1999-2021 angka rasio gini Indonesia trennya terus menanjak. Setelah 2012, tren rasio gini relatif stabil bahkan cenderung turun, meski penurunannya tidak terlalu signifikan.
Hal ini menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir tingkat ketimpangan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan beberapa dekade sebelumnya.
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menunjukkan bahwa lebih dari 50% dana simpanan tabungan di Indonesia dikuasai oleh nasabah kaya. Mereka memiliki tabungan di atas Rp5 miliar.
Pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi tingkat ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Meski demikian, jurang ketimpangan antara si kaya dan miskin tidak memperlihatkan adanya perbaikan hingga saat ini.
Pendorong Utama Ketimpangan di Indonesia
Bank Dunia melaporkan, setidaknya ada empat pendorong utama ketimpangan di Indonesia. Pertama, ketimpangan kesempatan. Nasib anak-anak yang dilahirkan dari keluarga miskin dan status pendidikan orang tua yang rendah menyebabkan mereka tumbuh dengan keterampilan yang kurang. Akibatnya mereka tidak memiliki kesempatan yang sama dibandingkan anak-anak dari keluarga yang lebih kaya.
Kedua, ketimpangan di pasar tenaga kerja. Gaji semakin tinggi untuk segelintir pekerja terampil. Sedangkan pekerja yang memiliki sedikit kesempatan untuk mengembangkan keterampilannya terjebak dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan gaji kecil.
Ketiga, kepemilikan aset keuangan di Indonesia terkonsentrasi di tangan segelintir rumah tangga kaya yang mengakibatkan ketimpangan semakin tinggi.
Keempat, ketahanan yang tidak seimbang terhadap guncangan. Jaminan kesehatan dan pekerjaan, seperti pensiun dan tabungan hanya dimiliki oleh kalangan tertentu seperti pegawai negeri sipil maupun mereka yang memiliki pekerjaan tetap, serta golongan orang kaya.
Jika terjadi guncangan, misalnya terkait kesehatan, kehilangan pekerjaan, atau bencana alam, tentu akan lebih mempengaruhi rumah tangga miskin dan rentan.
Bank Dunia juga merekomendasikan beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mempersempit ketimpangan. Misalnya, memperbaiki pelayanan publik di daerah.
Menurut Bank Dunia, kunci utama agar generasi berikutnya mendapatkan awal yang lebih baik adalah peningkatan pelayanan publik di daerah. Terutama memperbaiki kesempatan semua orang untuk mengakses kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana.
Kemudian menciptakan lapangan kerja yang memiliki kualitas baik dan peluang melatih keterampilan bagi tenaga kerja. Harapannya masyarakat miskin dan rentan juga bisa menikmati pekerjaan tersebut.
Selanjutnya, merancang sistem perpajakan yang lebih adil dengan memperbaiki sejumlah peraturan perpajakan guna menghindari terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang.
Editor: Aria W. Yudhistira