Advertisement
Advertisement
Analisis | Cukupkah Upah Minimum Membiayai Hidup Berumah Tangga? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Cukupkah Upah Minimum Membiayai Hidup Berumah Tangga?

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Upah minimum adalah batas bawah gaji yang diterima para pekerja di masing-masing daerah. Bagi pekerja lajang, standar gaji tersebut masih dapat mencukupi kebutuhan hidup selama sebulan. Bagaimana untuk pekerja yang sudah berkeluarga dan membangun rumah tangga?
Vika Azkiya Dihni
23 November 2022, 18.28
Button AI Summarize

Pemerintah berencana menaikkan standar upah minimum provinsi (UMP) sebesar 10% pada 2023. Kenaikan tersebut setelah mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Persoalannya, cukupkah upah minimum memenuhi kebutuhan hidup pekerja?

Upah minimum adalah batas bawah gaji yang dibayarkan kepada pekerja setiap bulan. Harapannya besaran upah tersebut dapat mencukupi kebutuhan hidup dengan layak.

Namun, standar gaji ini hanya memperhitungkan kebutuhan pekerja lajang. Data menunjukkan, upah minimum di sejumlah kota di Indonesia tidak serta merta menutupi biaya hidup pekerja yang telah berumah tangga.

Katadata berupaya mengonfirmasi kesesuaian antara upah minimum ini dan kebutuhan hidup kepada tiga orang pekerja. Ketiganya merupakan pekerja dengan pendapatan rata-rata setiap bulan setara upah minimum. Dua orang masih berstatus lajang, sedangkan yang satu sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. 

Muchlis adalah seorang kurir ekspedisi yang berlokasi di Pondok Ranji, Tangerang Selatan. Penghasilannya sekitar Rp4-5 juta setiap bulan. Setiap bulan, menurut lelaki 22 tahun tersebut, pengeluarannya berkisar Rp2 juta. Pengeluaran terbesar untuk cicilan motor senilai Rp900 ribu.

“Alhamdulillah selama ini sih masih cukup. Saya belum menikah paling pengeluaran buat bensin dan makan. Saya juga masih tinggal dengan orang tua,” katanya.

Selebihnya, gaji yang dia peroleh ditabung. “Kemudian ada sisa lagi saya kasih ke orang tua dan untuk pegangan di jalan,” ujar lulusan SMK tersebut.

Hal yang sama juga disampaikan April, 22 tahun. Perempuan lulusan D3 ini bekerja sebagai content writer di salah satu perusahaan media di Jakarta dengan gaji sekitar Rp3-4 juta. Gaji tersebut memang di bawah upah minimum Jakarta. Menurutnya, itu karena statusnya hanya sebagai kontributor bukan karyawan penuh. 

Dengan penghasilan sebesar itu, dia mengakui belum mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untuk menutupinya, dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai pekerja lepas (freelance) staf administrasi di salah satu CV. Dari pekerjaan sampingan dia dapat memperoleh tambahan penghasilan, sehingga total uang yang bisa April kantongi tiap bulan mencapai Rp4-5 juta. Jumlah ini hampir setara dengan upah minimum Jakarta. 

Menurut April, dengan total gaji sebesar itu bebannya dapat lebih longgar dan masih bisa menabung. Dalam sebulan, pengeluarannya sekitar Rp2 juta. Paling banyak dipakai untuk cicilan sepeda motor sebesar Rp1,5 juta. Sedangkan kebutuhan pribadinya hanya sebesar Rp500 ribu dan besaran yang sama diberikan kepada orang tua. 

Gak ada biaya ngekos sih karena aku ini tinggal sama orang tua, tapi rumahnya juga masih kontrak,” katanya.

Berat untuk Pekerja Berkeluarga

Bagi sebagian pekerja, terutama yang masih berstatus lajang, penghasilan setara upah minimum masih mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Persoalannya, pekerja yang sudah berkeluarga, mereka akan cenderung kesulitan untuk menutup biaya hidupnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan survei biaya hidup (SBH) setiap empat tahun sekali. SBH terakhir dilakukan pada 2018 yang dilakukan di 34 ibu kota provinsi dan 56 ibu kota kabupaten dan kota. Total sampel sebanyak 141.600 rumah tangga. Namun, artikel ini hanya menampilkan data kota-kota di Pulau Jawa dan Bali.

Dibandingkan dengan kota-kota lain, Jakarta memiliki biaya hidup tertinggi. Berdasarkan SBH 2018, rata-rata pengeluaran per kapita di ibu kota sebesar Rp4,5 juta per bulan. Sementara rata-rata pengeluaran rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga 3-4 orang adalah sebesar Rp16,9 juta. 

Sebagai catatan, SBH ini merupakan asumsi pengeluaran agregat rata-rata. SBH tidak memisahkan pengeluaran berdasarkan ukuran kelompok pendapatan tertentu.

Dari data SBH tersebut, jika kita bandingkan rata-rata upah minimum berada di bawah rata-rata pengeluaran per kapita pada 2018. Dengan UMP sebesar Rp3,7 juta, pekerja di Jakarta masih kekurangan sekitar Rp800 ribu (17%) untuk memenuhi rata-rata biaya hidup per kapita selama sebulan. 

Meski begitu, ada sejumlah kota yang tingkat upahnya sudah ada di atas rata-rata pengeluaran. Tangerang misalnya, yang upah minimumnya dipatok sebesar Rp3,6 juta, lebih tinggi dari rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp3,3 juta pada 2018. Warga Tangerang yang memiliki gaji setara upah minimum masih memiliki kelebihan Rp325 ribu (9%). 

Masalahnya, kelebihan tersebut tidak mencukupi jika si pekerja sudah berumah tangga dan memiliki tanggungan. Sementara satu-satunya penghasilan berasal dari si pekerja. 

Seperti yang dialami Agustiar, 27 tahun. Buruh pemotongan ayam di Serua Indah, Ciputat, Tangerang Selatan mengatakan, gajinya saat ini berada di kisaran upah minimum sekitar Rp4 juta per bulan.

“Pengeluaran saya besar untuk kebutuhan anak dan bayar kontrakan,” kata dia.

Setiap bulan Agustiar harus mengeluarkan biaya sewa kontrakan sebesar Rp1 juta. Sementara untuk anaknya yang baru berusia 1,5 tahun, dia menyisihkan sekitar Rp600 ribu untuk popok sekali pakai (diaper) dan susu. Di luar itu, dia juga memiliki cicilan sepeda motor sebesar Rp1 juta. Sisanya digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. 

“Biasanya sih ngepas. Ya dicukup-cukupin saja gajinya, karena istri kan juga nggak kerja,” kata Agustiar. Jika ada kekurangan, dia terpaksa berutang ke tetangga atau saudara. 

Upah Naik, Biaya Hidup tetap Meningkat

Upah minimum di Jawa-Bali rata-rata mengalami kenaikan sebesar 22% untuk periode 2018 ke 2022. Kenaikan upah tersebut sejalan dengan kenaikan indeks harga konsumen (IHK). 

BPS belum merilis hasil SBH tahun 2022. Namun jika diukur berdasarkan IHK 2018 sebagai tahun dasar, rata-rata IHK sudah berada di atas 100. Ini artinya, secara umum harga-harga mengalami kenaikan dibandingkan 2018. Tentunya biaya hidup juga meningkat.

Di Jakarta misalnya, IHK tercatat 111,44 per Oktober 2022. Artinya, ada kenaikan harga-harga barang 11,44% dibandingkan tahun dasar 2018.

Jika diasumsikan kenaikan rata-rata pengeluaran sama dengan kenaikan IHK yaitu 11,44%, maka pengeluaran di Jakarta pada 2022 menjadi Rp4,9 juta per kapita dan Rp18,8 juta per rumah tangga.

Angka ini lebih tinggi dari upah minimum Jakarta yang sebesar Rp4,6 juta pada 2022. Artinya meski upah minimum naik, laju inflasi tetap menyebabkan biaya hidup semakin mahal seiring kenaikan harga barang dan jasa. 

Seseorang dengan penghasilan di kisaran upah minimum akan cenderung kesulitan menanggung biaya hidup bulanan, selain untuk dirinya sendiri.

Editor: Aria W. Yudhistira